Senin, 15 November 2010

Parliamatary Threshold

Oleh: Andriadi Achmad


Dalam tulisan “Penyederhanaan Parpol” (koran Jakarta, Kamis 29/07/2010), Gun Gun Heryanto menguraikan kelebihan dan kelemahan tiga tawaran wacana berkembang belakangan dalam rangka penyederhanaan parpol. Pertama, melalui konfederasi. Konfederasi memiliki kelebihan dalam hal daya ikat permanen tanpa harus meleburkan identitas partai-partai yang berkonfederasi. Kelemahannya, konfederasi tak mudah dipraktikkan dalam konfigurasi politik di Indonesia. Sangat sulit menyatukan partai-partai berbeda karena alasan kesamaan platform atau ideologi partai.

Kedua, fusi. Dimana, partai-partai melebur ke dalam wadah sekaligus identitas baru. Seperti pernah kita alami pada masa Orde Baru, melalui ketetapan UU No 3/1975 dari 10 parpol menjadi tiga, yaitu PPP, PDI Golkar. Kelebihan fusi, polarisasi kekuatan politik akan semakin jelas dan membuat sistem politik semakin stabil. Kekurangannya, peleburan partai akan mengundang resistensi karena terkesan bukan mekanisme penyederhanaan alamiah, tapi dipaksakan rezim berkuasa. Fusi cenderung menimbulkan penyelewengan kekuasaan melalui korporatisme dan kartelisasi politik.

Ketiga, asimilasi. Penerapan asimilasi menekankan pada pembauran kekuatan politik. Kelebihan ide dasarnya adalah pada pembauran akar rumput politik untuk membangun kesepahaman secara alamiah. Cara-cara kultural menjadi ciri dominan kerja sama politik dibanding pendekatan legal-formalistik. Tentu kekurangannya adalah proses membangun konsensus akan sangat cair.

Berdasarakan catatan diatas, wacana konfederasi, fusi, ataupun asimilasi penulis menangkap bahwa ketiga mekanisme diatas tidak efektif dalam upaya penyedehanaan parpol karena melekat kelemahan-kelemahan dan persyaratan cukup sulit untuk di sepakati. Penulis sependapat bahwa peningkatan PT adalah salah satu solusi ideal dalam penyederhanaan parpol.

Lebih jauh, penyedehanaan parpol melalui PT akan membawa implikasi pada beberapa hal. Pertama, menyebabkan suara pemilih akan terbuang sia-sia. Berdasarkan data bahwa penerapan PT 2,5 persen pada pemilu 2009 menyebabkan sekitar 18 juta suara terbuang. Bila diberlakukan PT 5 persen, bisa jadi sekitar 36 juta suara akan hilang pada pemilu 2014. Gagasan Akbar tanjung, bisa menjadi jalan tengah agar anggota DPR terpilih memenuhi bilangan pembagi walaupun partainya tidak lolos PT, adalah tetap menjadi anggota DPR dan bergabung dengan partai yang lolos ke parlemen.

Kedua, PT 5 persen akan menghilangkan partai-partai kecil. Penerapan PT 5 persen beberapa parpol akan berpeluang tersingkir dari senayan pada pemilu 2014, seperti PPP, PKB, Gerindra dan Hanura. Menengok pangsa pasar PPP dan PKB adalah pemilih berbasis masa Islam tradisional (NU), secara realitas PPP dan PKB berdasarkan hasil perolehan suara pemilu 2009 merosot tajam.

PPP pada pemilu 2004 menempati posisi kelima dengan perolehan suara 9,15 persen, sedangkan pada pemilu 2009 mengalami penurun menuju posisi enam dengan perolehan suara sekitar 5, 32 persen. Begitu juga PKB mengalami mengalami penurunan secara signifikan, dimana pada pemilu 2004 PKB meraih 10,61 persen dan menempati urutan ketiga, sedangkan pada pemilu 2009 mengalami penurunan signifikan menuju posisi ketujuh dengan perolehan suara 4,94 persen. Berkaca dari realitas ini, peluang PPP dan PKB untuk tersingkir dari senayan pada pemilu 2014 terbuka lebar.

Begitu juga keberadaan Gerindra dan Hanura, sebagai pendatang baru kedua partai tersebut pada pemilu 2009 cukup diperhitungkan dengan masing-masing menempati posisi kedelapan dan kesembilan serta lulus PT 2, 5 persen. Tetapi, bila dalam rentang waktu sampai pemilu 2014 kedua parpol tersebut tidak memperlihat kinerja dan bahkan cenderung menoton, tidak menutup kemungkinan pada pemilu 2014 Gerindra dan Hanura akan hilang di telan bumi.

Ketiga, PT 5 persen membuka kemungkinan terjadi oligarki dan kartelisasi. Bila semakin sedikit partai yang lolos ke parlemen, bisa menyebabkan terbuka lebar peluang hubungan tidak sehat antar parlemen dan pemerintah. Bahkan checks and balances antara parlemen dengan eksekutif (presiden) menjadi terganggu.
Gagasan peningkatan PT 5 persen dihembuskan Fraksi Partai Golkar sempat menjadi isu terhangat belakangan ini. Ide pembatasan jumlah partai politik agar bisa mendorong proses demokrasi yang kuat dan semakin mengokohkan sistem presidensial dalam pemerintahan kita. Meminjam istilah Scott Mainwaring, bahwa sistem presidensial dengan multi parpol akan membentuk “kombinasi yang sulit”.

Sebagaimana terjadi di Indonesia, dimana kekuatan eksekutif tidak dibarengi dengan kekuatan di legislatif. Lantaran multiparpol tidak melahirkan parpol dominan di parlemen, sehingga terbangun koalisi antar parpol. Dalam praktik, koalisi cenderung menimbulkan dualisme keberpihakan. Di satu sisi berkoalisi dalam kekuasaan eksekutif dan berseberangan di lembaga legislatif.

Namun di sisi lain, dengan penerapan PT 5 persen cukup efektif dalam membatasi jumlah parpol di parlemen. Belajar dari pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu hanya meloloskan sembilan parpol ke parlemen, antaralain: Demokrat (20,85 persen); Golkar (14,45 persen); PDIP (14,03 persen); PKS (7,88 persen); PAN (6,01 persen); PPP (5,32 persen); PKB (4,94 persen); Gerindra (4,46 persen); dan Hanura (3,77 persen).

Dalam konteks kekinian, melihat sistem presidensial di Indonesia, penyederhanaan jumlah parpol menjadi agenda penting. Dalam kajian Hanta Yuda AR dalam buku Presidensialisme Setengah Hati (2010), bahwa sistem multi parpol yang terdapat di Indonesia merupakan sebuah gambaran penerapan sistem presidensial belum diterapak sepenuhnya—semi presidensial.

Secara ideal sistem presidensial semestinya hanya terdapat dua- tiga parpol atau multiparpol sederhana. Multiparpol lebih tepat di terapkan pada negara yang menganut sistem parlementer. Oleh karena itu, harus segara ditetapkan batas minimal 2,5 persen menjadi 5 persen.

Bisa jadi dengan penerapan PT 5 persen akan lebih mengurangi jumlah parpol lolos ke parlemen. Dalam konteks ini, penyederhanaan parpol bukan berarti mengebiri kebebasan warga negara untuk berserikat seperti yang telah di atur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Penyederhanaan jumlah parpol untuk mendorong terciptanya mekanisme iklim demokratisasi kondusif. Secara sepintas kita cermati bahwa berdirinya multi parpol, sebahagian didirikan dan dikomandoi mantan fungsionaris parpol tertentu yang telah mengundurkan diri—kelompok yang merasa tidak terakomodir kepentingannya. Penulis membahasakan suatu sikap arogansi kebebasan dalam berpolitik, bila terjerembab dalam kebebasan “kebablasan” bisa membahayakan transisi demokrasi dan semakin menyuburkan pragmatisme di tubuh partai politik.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
(Tulisan ini pernah di Muat di Koran Jakarta, 5 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar