Kamis, 03 Desember 2009

SBY, Megalomania dan Jatuh Ke Prabon

SBY, Megalomania dan Jatuh Keprabon
Oleh: R. Andriadi Achmad


Secara makna bahasa megalomania berasal dari rangkain dua kata bahasa Yunani, Megalo berarti sangat besar, termashur, atau berlebih-lebihan, dan Mania berarti bentuk obsesi berlebihan terhadap sesuatu. Megalomania dapat diartikan sebagai bentuk obsesi berlebihan yang mendorong seseorang pada kebutuhan terhadap sesuatu bersifat irasional—perasaan kemuliaan dan kebesaran berlebih-lebihan atas eksistensi diri.
Bersinergi dengan teori Sigmun Freud bahwa akar dari sindrom megalomania adalah gejala narsistik yang sakit, dimana penderitanya memiliki keyakinan diri yang dibesar-besarkan, berbentuk waham dan diyakini secara absolut. Megalomaniac dalam memimpin cenderung mendorong nafsu otoriter, totaliter dan diktator. Selain itu, sifat dan karakteristik lain kepribadian sindrom megalomania kebal akan kritikan walaupun telah terbukti salah.
Sebagaimana terekam dalam perjalanan sejarah peradaban dunia, bahwa bangsa-bangsa yang dipimpin seorang Megalomaniac rentan berada dalam cekaman pembantain, kemiskinan, dan keterpasungan akan sebuah kebebasan. Dalam artian sangat berbahaya dalam konteks demokrasi. Sindrom megalomania sangat bertolak belakang dengan konsep demokrasi liberal yang banyak di adopsi negara-negara di dunia pada era kekinian.
Dalam sejarah politik abad pertengahan, dalam buku The Prince (1513) Machievelli membangun sebuah argumen cukup kontroversial mengenai bagaimana memperoleh dan mempertahakan kekuasan “menggunakan segala cara”. Konsep tersebut memberikan semacam gambaran bahwa seorang penguasa dalam mempertahankan kekuasaan, di satu sisi harus menyulap diri menjadi rubah (fox) agar bisa terhindar dari jebakan lawan, dan di sisi lain menjelma menjadi singa (lion) untuk menakuti serigala. Walaupun pada akhirnya, Machievelli mengakui kelemahan gagasannya dan menyiratkan bahwa kepemimpinan semacam itu akan tidak terhormat dan dikenang sebagai pemimpin ‘’kontroversial”.
Teori kekuasaan Machievelli secara terbuka dianut Musollini (Itali), Hittler (Jerman)—berdasarkan pengakuan keduanya. Secara terselubung diadopsi Mao Te Tsung (Cina); Soekarno dan Soeharto (Indonesia); Ferdinand Marcos (Filipina), Primo De Rivera dan Jenderal De Franco (Spanyol), Batista (Kuba), Juan Peron (Argentina), Saddam Hussein (Irak), dan sejenisnya. Para pemimpin tersebut terjebak sindrom Megalomania, sehingga menjadi otoriter, diktator, dan totaliter. Sebuah realitas tercatat dalam lembaran sejarah bahwa penguasa tersebut terjungkal dari kekuasaan dengan paksa dan tanpa hormat.
SBY dan Bahaya Megalomania
Kecemerlangan SBY dalam pergulatan politik dewasa ini, mengundang decak kagum dari pelbagai kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan kemenangan telak satu putaran SBY dalam pilpres 8 Juli 2009 (60,8 persen). Selain itu, kharismatik dan kewibawaan SBY juga menjadi magnet penghantar kemenangan partai Demokrat (20,85persen) dalam pelilihan legislatif 9 April 2009.
Arah sejarah sebuah bangsa berada dalam gengaman sang penguasa, posisi SBY dalam konteks Indonesia kekinian adalah sebuah fenomena. Sebagaimana kita mengenang kehadiran dua pemimpin besar bangsa kita, Soekarno dan Soeharto. Soekarno dikenal sebagai pemimpin besar revolusi Indonesia, Soekarno memimpin bangsa yang baru mendeklarasikan revolusi kemerdekaan RI, dengan menghadapi pelbagai kemelut dan segudang permasalahan dalam rangka membangun eksistensi menuju sebuah bangsa yang independen, mandiri, dan bermartabat.
Sedangkan Soeharto dikenal sebagai bapak pembangunan, yang terbukti berhasil memimpin bangsa Indonesia keluar dari ekonomi rusak parah (inflasi sampai 600 persen). Terlepas dari noda-noda hitam dimasa kepemimpinan kedua memimpin tersebut, harus diakui mereka adalah potret pemimpin kuat dan sangat berpengaruh dalam pelbagai konstelasi politik dan kebangsaan dimasanya masing-masing.
Sebuah fenomena menarik untuk dikaji, pemimpian sekaliber Soekarno (1966) dan setangguh Soeharto (1998) jatuh ke prabon secara tidak hormat dan terkesan dipaksakan rakyat. Hal ini telah membuktikan bahwa diktatorisme yang di gunakan Soekarno (1945-1966) dan otoriterisme yang dipakai Soeharto (1967-1998) tidak mampu membendung kedaulatan rakyat dan meminjam istilah J.J. Rousseou generale volontore atau general will (kehendak rakyat).
Menelaah lebih jauh, dalam sebuah tulisan tajam Eef Saefulloh Fatah (Tempo, Edisi Oktober 2009) dengan judul ’Kemenangan-kemenangan Yudhoyono’, manyiratkan bahwa manakala kekuasaan dan kendali makin mengumpul di tangan satu orang yang semakin sensitif, antikritik, tak lagi rela mendengar, dan dengan penuh percaya diri mengaku menjual minuman segar padahal menjajakan botol kosong yang dikemas cantik. Jadi, jangan-jangan, ”kemenangan” itu sesungguhnya adalah kekalahan yang tertunda.
Secara cermat kita dapat melihat muara tulisan Eef sebenarnya mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa kepemimpinan SBY sudah mulai mengidap sindrom Megalomania yang terbungkus rapi. Hal ini, tercermin dari sikap politik SBY dan gerak-gerik SBY belakangan ini. Setidaknya, gejala ini mulai terlihat pasca kemenangan Demokrat dan SBY pada pileg dan pilpres 2009.
Pada hemat penulis, ada dua faktor bisa menyelamatkan kepemimpinan SBY dari gejala sindrom Megalomania. Pertama, sistem demokrasi yang dianut bangsa kita. Dalam sebuah tatanan negara menganut sistem demokrasi, secara umum adanya fusion of power (pembagian kekuasaan) sebagaimana gagasan Montesquieu trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
SBY sebagai refresentatif dari kekuasaan eksekutif selalu di kontrol dan diawasi kekuasaan legislatif (DPR) serta diadili-dihakimi kekuasaan yudikatif (MA,MK,KY). Sehingga sulit untuk membangun kekuataan otoriter bila berjalannya fungsi-fungsi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut.
Kedua, menguatnya bangunan civil society sebagai watch dog (anjing pengongong). Pelbagai bentuk organisasi masyarakat, Non-Government Organization (NGO) hadir di tengah pergulatan perpolitikan bangsa Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, ICW, TII, LBH, dan sejenisnya. Kehadiran refresentatif dari civil society ini akan senantiasa membendung kesewenangan penguasa.
Dua kemungkinan besar akan terjadi di tengah transisi demokrasi di negeri kita: kontelasi politik kepemimpinan SBY lima tahun ke depan akan membuktikan bahwa sindrom Megalomania sudah tidak relevan di zaman modern ini, atau kepemimpinan SBY lima tahun ke depan membawa kita kembali ke alam otoriter dan terjerumus sindrom Megalomania dengan episode akhir jatuh ke prabon.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI--
Direktur Eksekuitif PDIYoG (Political Development of Indonesian’n the Young Generation)