Senin, 15 November 2010

Oposisi Macan Ompong

Oleh: Andriadi Achmad


Kritikan tajam Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidato pembukaan Rakernas PDIP (Rabu, 4/08) terhadap kinerja pemerintah SBY, dimana Megawati melontarkan kritikan pada beberapa kebijakan pemerintah SBY dinilai kacau balau dan masih memprihatinkan dalam kehidupan berbangsa, antaralain: persoalan kelalaian dan kegagalan pemerintah dalam mensosialisasikan dan menangani ledakan gas “bom’ elpiji 3 kg; sikap pemerintah gampang mengeluh; soal kebijakan penggunaan senjata api Sat Pol PP seharusnya tidak perlu menjadi wacana; harga sembako melambung tinggi; dan menentang pembangunan rumah aspirasi.

Secara realitas pelbagai kritikan tersebut, dimana Megawati menegaskan dan semakin mengukuhkan keberadaan PDIP sebagai partai oposisi. Menarik dalam hal ini, adalah konsistensi PDIP mengambil jalan sebagai partai oposisi sejati, suatu sikap barangkali kurang lazim dalam kehidupan sistem pemerintahan presidensialisme seperti di Indonesia, dimana peranan oposisi tidak terlalu signifikan.

Berbeda pada sistem parlementer, kehadiran oposisi sangat mempengaruhi roda pemerintahan berkuasa. Sebagaimisal kesalahan dalam mengeluarkan kebijakan bisa menjungkir balikkan pemerintahan berkuasa, sehingga dalam sistem parlementer jatuh bangun pemerintahan sudah hal lumrah. Berbeda hal dengan sistem presidensialisme, menjatuhkan pemerintah bisa dikatakan sesuatu kemungkinan sulit.

Dalam bahasa penulis, keberadaan oposisi dalam pemerintah presidensialisme bagaikan “macam” ompong. Di satu sisi memiliki kekuatan fisik dan raungan cukup dahsyat yang mampu menggetarkan lawan. Tapi di sisi lain, tidak mempunyai daya gigit yang mampu melumpuhkan lawan.

Berbicara dalam konteks politik Indonesia, PDIP sebagai salah satu parpol besar dan partai oposisi hanya mempunyai kekuatan untuk mengkritik pemerintah. Tetapi PDIP tidak akan mampu menurunkan pemerintah berkuasa. Sehingga kritikan tersebut bagaikan peluru yang tidak mampu melukai lawan, bahkan tidak menutup kemungkinan peluru tersebut berbalik arah menghantam si empunya peluru.

Menurut Arbi Sanit seharusnya PDIP memperkuat dan melembagakan sistem oposisi, sehingga kritiknya tidak sia-sia. Selain itu PDIP harus membangun koalisi sesama partai oposisi supaya kekuatan tidak terpecah-belah. Tanpa niat untuk memperkuat oposisi, semua kritikan itu hanya sekedar lagak dan gaya bukan substansi demokrasi. Bahkan bisa jadi bentuk keresahan Megawati karena sekarang tumbuhnya stabilitas politik dan ekonomi lebih kokoh.

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal perlu diperhatikan PDIP sebagai partai oposisi. Pertama, seberapa efektif kritikan PDIP bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan PDIP sendiri. Sangat mubazir jika kritikan tersebut hanya sekedar wacana dan bentuk kontra terhadap pemerintah berkuasa. Bisa saja, kritik yang berlebihan malah dapat menjadi tidak produktif. Masyarakat lebih mengharapkan dukungan atau bantuan untuk memecahkan masalah, bukan berkata-kata tanpa memberikan solusi.

Sebenarnya tiga pilar PDIP (eksekutif, legislatif, dan anggota partai) mempunyai peluang untuk mengejawantahkan kritikan Megawati tersebut. Sebagaimisal PDIP memiliki jejaring dan dana untuk mensosialisasikan penggunaan tabung gas elpiji dengan tepat. Kesempatan ini bisa mendorong para anggota DPR/DPRD dari PDIP untuk berada di tengah rakyat. Contoh lain PDIP bisa juga membantu masyarakat lebih mandiri dalam perekonomian dengan mengembangkan asas ekonomi kerakyatan.

Kedua, PDIP berpeluang menjadi partai besar sebagai oposisi pemerintah. Sebagaimana kita ketahui PDIP mempunyai kemampuan menarik massa. Setidaknya telah diperlihatkan dengan keberhasilan PDIP meraih sekitar 67 persen kemenangan dari pemilukada yang dimulai sejak April 2009-Juni 2010, relatif jauh mengungguli partai-partai lainnya. Bila kritikan-kritikan PDIP hanya sekedar omong kosong atau unjuk kekuatan, bisa saja rakyat akan meninggalkan PDIP.

Ketiga, kritikan Megawati terhadap kebijakan pemerintahan SBY cenderung emosional. Berbagai kesempatan terbuka lebar bagi PDIP untuk memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Tetapi PDIP malah mempertontonkan rakyat dengan pelbagai kritikan cenderung terkesan emosional dan menganggu pemerintahan yang sedang bekerja.

Dalam konteks ini, PDIP justru tidak menawarkan harapan baru pro rakyat. Seyogyanya sikap dan kritik PDIP tidak hanya berguna bagi pemerintah, tapi juga untuk rakyat banyak. Bahkan dalam posisi ini menunjukkan bahwa PDIP semakin emosional dengan konsep oposisi yang makin tidak terarah. Selain itu, barangkali sikap tersebut menunjukkan bahwa PDIP sudah kehilangan cara untuk mengkritisi pemerintahan dengan laju perkembangan ekonomi dan politik yang makin membaik.

Keempat, Megawati tidak satu kata dalam perbuatan. Padahal dalam pelbagai kesempatan Megawati kerap menegaskan segala hal menyangkut Indonesia harus mengedepankan kebersamaan seperti Megawati kerap melontarkan bahwa kalau menyangkut I, Indonesia, itu menyangkut kebersamaan. Tetapi di sisi lain PDIP hanya menyoroti kesalahan tetapi tapi tidak membantu dan memberikan solutif terhadap pelbagai permasalahan bangsa.

Di samping itu, Megawati mengatakan kebersamaan, tapi disisi lain PDIP dan Megawati menolak bersama pemerintah berkuasa atau minimal mendukung pemerintah dalam menjalankan program membangun bangsa. Perlu dipertanyakan mengapa PDIP dan Megawati tidak pernah mengapresiasi keberhasilan pemerintah dan hanya menyoroti kelemahan-kelemahannya saja? padahal pelbagai kebijakan pemerintah perlu sinergitas untuk meluruskan kesalahan dan memperbaikinya.

Bangsa Indonesia, membutuhkan terobosan pemikiran, membutuh sinergitas antar semua elemen di tengah konsolidasi nasional dan demokrasi saat ini berlangsung. Seharusnya rakyat dibimbing untuk mendukung pemerintah bekerja, bukan malah berupaya menajamkan penolakan. Jangan sampai PDIP menjadi beban sejarah dalam era transisi demokrasi. Dimana keberadaan PDIP tidak terlalu memberikan dampak positif bagi rakyat, pemerintah maupun PDIP sendiri.

Di alam demokrasi, kritik merupakan hal lumrah dan sebuah bentuk dinamika dari partai oposisi pemerintah. Mereka mempunyai hak, walaupun motif kritikan tersebut mempunyai maksud dan kepentingan terselubung. Bahkan dapat dibahasakan bahwa kritik kepada pemerintah wajib hukumnya dari berbagai pihak. Pemerintah memerlukan kritik karena kritik bisa dijadikan sebagai cermin dan instrumen koreksi.

Dari kritik itu, pemerintah dapat mengetahui segala kekurangan dan kelebihannya.
Di sisi lain, kritikan itu harus disertai solusi yang dapat membantu kesulitan-kesulitan pemerintah dalam bekerja. Dalam hal ini, kalau krtikan Megawati dan PDIP hanya sekedar unjuk kekuataan dan wacana kosong belaka, itu bisa saja bentuk kekecewaan atas kekalahan politik PDIP pada pemilu dan kegagalan Megawati pada dua pilpres—2004 dan 2009—head to head dengan SBY.


Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar