Selasa, 04 Mei 2010

Paradigma Baru Pendidikan Indonesia

Oleh: Andriadi Achmad


Berdasarkan laporan UNDP (United Nations Development Programme) Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index-HDI) dunia, Indonesia berada pada urutan ke-110 dari 173 negara (2002); 112 dari 175 negara (2003); 108 dari 177 negara (2004); 110 dari 177 negara (2005); 108 dari 177 negara (2006); 108 dari 177 negara (2007); 107 dari 177 negara (2008); 111 dari 182 negara (2009). Data ini, setidaknya bisa menjadi sebagai salah satu parameter mewartakan kualitas dan mutu pendidikan Indonesia delapan tahun terakhir.

Secara realitas pendidikan indonesia belum memberikan titik terang menggembirakan. Padahal, Indonesia dengan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah membutuhkan SDM yang berkualitas. Menurut H. Mc.Rae (1995) dalam buku The World in 2020 bahwa pada zaman sekarang dan masa akan datang ketersediaan SDA melimpah tidak banyak menentukan kemajuan suatu masyarakat dan bangsa, tetapi faktor kualitas perorangan dan kelompok masyarakat itu sendiri menentukan kemajuan.

Belajar dari perjalanan sejarah peradaban dunia, bangsa-bangsa termasuk dalam gugusan negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan sekarang disusul oleh China, India, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, adalah negara-negara mendudukkan pendidikan sebagai prioritas pertama. Negara-negara ini menganut paradigma, meminjam istilah Soedijarto "To Build Nation Build School". Karena itu, sektor pendidikan sangat menentukan masa depan bangsa kita.

Merubah Paradigma Sistem Pendidikan

Berdasarkan penelitian Harvard University (USA) jika mengajar dengan banyak berceramah, maka tingkat pemahaman hanya 20 persen (Hard Skill). Tetapi sebaliknya, jika peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sambil melaporkannya, tingkat pemahaman dapat mencapai sekitar 80 persen (Soft Skill).

Suatu perubahan adalah keniscayaan bila suatu sistem tidak lagi sesuai dengan kondisi zaman yang selalu berputar menuju arah kemajuan. Menyorot kondisi pendidikan Indonesia kekinian, mengapungkan paradigma baru merupakan adalah hal pokok sangat mendasar dalam rangka untuk mewujudkan visi dan misi pendidikan Indonesia.

Secara umum, penulis mengamati sistem dan metode pendidikan Indonesia lebih cenderung mengedepankan metode bercerita, penghafalan—sangat minim memberikan ruang dan waktu untuk mempraktikkan di lapangan—kemudian di ujiankan dan mendapatkan nilai sebagai tolak ukur dari keberhasilan proses pembelajaran. Padahal, selembar kertas nilai tidaklah berarti tanpa diimbangi kemampuan praktik di lapangan.

Pantas saja, pendidikan Indonesia sulit melahirkan lulusan berkualitas dan siap pakai. Bahkan, lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (Teknik, Ekonomi dan keterampilan lain) dan perguruan tinggi mayoritas tidak siap pakai. Sejatinya pengembangan keterampilan dan kreatifitas sangat urgen untuk dikedepankan dalam sistem pembelajaran. Melalui keterampilan peserta didik diharapkan mampu melahirkan pelbagai inovasi-inovasi baru.

Pada hemat penulis ada beberapa hal perlu diperhatikan dalam mencari format baru sistem pendidikan Indonesia. Pertama, menerapkan sistem praktik dalam skala besar—bisa jadi 20 persen teori dan materi di kelas, sedangkan 80 persen di praktikkan. Dalam hal ini, peserta didik lebih dituntut untuk mengerti dan memahami pelajaran melalui pengamatan, penelitian dan percobaan.

Dalam menerapkan sistem ini, memang membutuhkan ongkos cukup besar. Tapi anggaran dana bukanlah kendala besar, dikarenakan sejak 2009 pemerintah telah menganggarkan 20 persen APBN untuk sektor pendidikan. Pelbagai bentuk penyaluran telah dilakukan, antaralain melalui BOS (bantuan operasional sekolah); Hibah sekolah; ataupun bentuk beasiswa unggulan, beasiswa berprestasi, dan sejenisnya melalui Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri (BPKLN) Kemendiknas RI sejak tahun 2006.

Kedua, mendukung sekolah alternatif sebagai bentuk lain dalam upaya pencerdasan anak bangsa. Sekolah alternatif—lebih mengarahkan peserta didik pada pengembangan bakat, minat, dan keterampilan—perlu perhatian, dukungan dan kepercayaan untuk mendapatkan legalitas sebagai pendidikan non-formal di Indonesia.

Beberapa sekolah alternatif berkembang dan bisa menjadi rujukan, seperti sekolah alam; sekolah anak jalanan—bengkel moral Komnas PAI (Komite Nasional Peduli Anak Indonesia) di Jawa Timur pimpinan Yussy Fauziah; Sokola Rimba gagasan Butet Manurung dengan mengajarkan baca, tulis, dan hitung kepada orang Rimba atau suku Kubu di hutan Bukit Dua Belas-Jambi; Sekolah Gratis ”Rumah Pengetahuan Amartya” Eko Prasetyo di Bantul-Jogjakarta; Homeschooling gagasan "Kak Seto"; sekolah olahraga; dan sejenisnya.

Ketiga, mendukung pemerintah dalam pengembangan program double degree untuk jenjang pendidikan sarjana, magister dan doktoral. Program ini merupakan langkah strategis untuk mempersiapkan SDM dalam memasuki pasar bebas tenaga kerja secara global. Program double degree ini telah di kembangkan beberapa PTN/PTS melalui dukungan beasiswa unggulan Kemendiknas RI sejak 2007. Hal ini juga dalam rangka mendukungn konsep pengembangan PT menuju world class university.

Format Pendidikan Versi Unesco

Dalam rangka menggagas paradigma baru sistem pendidikan di Indonesia, setidaknya berpijak pada lima konsep pokok rekomendasi UNESCO untuk pembaharuan sistem pendidikan dan pembelajaran. Pertama, learning to know. Guru lebih berperan sebagai fasilitator bagi peserta didik, metode information supplier (ceramah, putar pita kaset) sudah tidak signifikan.

Kedua, learning to do. Peserta didik dilatih untuk secara sadar mampu melakukan suatu perbuatan atau tindakan produktif dalam ranah pengetahuan, perasaan dan penghendakan. Ketiga, learning to live together. Sekolah sebagai suatu masyarakat mini harus mengajarkan cooperatif learning (pembelajaran secara kerjasama dan bersama-sama), proses belajar tidak saja mengedepankan pertandingan intelektualistik semata. Keempat, learning to be. Peserta didik dimotivasi untuk menghayati dan mengembangkan rasa percaya diri tinggi serta dikondisikan dalam suasana dipercaya, dihargai, dan dihormati sebagai pribadi unik, merdeka, berkemampuan, serta adanya kebebasan untuk mengekspresikan diri. Kelima, learning throughout life. Pembelajaran tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu. Pembelajaran dan pendidikan berlangsung seumur hidup.

Terus menerus terbelenggu dengan konsep dan metode lama—minim akan inovasi—sudah semestinya kita sadari. Zaman selalu berputar menuju ke arah depan, dalam artian segala sesuatu memang harus mengikuti konteks zaman—kalau tidak akan tertinggal. Penulis menilai bahwa sistem pendidikan Indonesia hari ini sudah tidak relevan. Untuk itu, reformasi sistem menuju paradigma baru pendidikan Indonesia menjadi suatu keniscayaan!.

Penulis adalah Direktur Eksekutif CSIER (Center for Studies of Indonesian’s Education Reform) dan Mahasiswa Program Pascasarjana FISIP UI