Jumat, 18 Juni 2010

Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia

Judul : Gerakan Mahasiswa (Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional)
Penulis : Dody Rudianto
Penerbit: Golden Terayon Press
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xii + 224 Halaman
Harga : Rp. 38.000

Gerakan Mahasiswa selalu hadir dalam setiap momen dan perubahan penting suatu bangsa. Dalam konteks ke-Indonesian, sebut saja sejak gerakan kebangkitan nasional Boedi Oetomo (1908) di pelopori mahasiswa STOVIA; mencetus Sumpah Pemuda (1928) dipelopori mahasiswa seperti Soekarno-Hatta-Sjahrir dan lain-lain; mendesak dan menculik (peristiwa rengas dengklok) Soekarno-Hatta agar mendeklarasi kemerdekaan RI dipimpin mahasiswa seperti Chairul Saleh-Sjarif Thayeb dan lain-lain (1945); menumbangkan Orde Lama (1966) di gerakkan oleh Akbar Tandjung-Cosmas Batubara-Marsilam Simanjuntak dan lain-lain—di kenal sebagai angkatan 66; peristiwa MALARI (1974) di bawah kendali Hariman Siregar; penolakan NKK/BKK dan pencalonan kembali Soeharto (1978); serta menggulingkan rezim Orde Baru (1998).

Melalui buku Gerakan Mahasiswa: Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional karya Dody Rudianto ini, membuka kembali memori lembaran dinamika perjuangan mahasiswa—sebagai garda terdepan pemuda—dalam proses perubahan zaman yang dialami oleh tiap generasi dengan segala aspek dan problematik tantangan berbeda-beda serta melihat peran kesejarahan gerakan mahasiswa dalam perspektif perubahan politik nasional sejak tahun 1908-1998.

Secara historis, menurut Dody ada dua istilah kerapkali muncul dalam gerakan mahasiswa yaitu gerakan moral (moral force) dan politik praktis. Kedua istilah dimunculkan antara dua pihak berseberangan, yaitu gerakan mahasiswa dan pemerintah berkuasa. Sudah lazim bahwa untuk menyudutkan dan memberangus gerakan mahasiswa, pemerintah kerapkali mengklaim gerakan mahasiswa telah melakukan politik praktis secara otomatis telah melanggar peraturan.

Sedangkan gerakan mahasiswa tetap bersikukuh bahwa gerakan mereka adalah gerakan moral (moral force)—gerakan murni belum terpolusi oleh pengaruh politik berorientasi kekuasan, dan masih tetap mempertahankan konsistensi perjuangan dilandasi nilai-nilai penegakan moral. Walaupun tak dapat dibantah bahwa terdapat juga oknum-oknum gerakan mahasiswa terjebak pada lingkaran politik praktis.

Selain itu, dalam buku ini dijelaskan 2 alasan utama penyebab kobaran api gerakan mahasiswa kian menyala dalam memperjuangkan perubahan. Pertama, terjadi penyumbatan dalam penyelenggaraan kenegaraan yang tidak berimbang. Kedua, fungsi pemerintahan yang bukan lagi sebagai pelayan rakyat tetapi menjelma menjadi penindas rakyat, bahkan belakang ini menjadi pelayan partai politik. (hal. 191).

Gerakan mahasiswa Indonesia senantiasa hadir dalam lintasan perjalanan kehidupan bernegara, sebagai sikap reaktif terhadap keadaan kehidupan kenegaraan yang di anggap tengah berada dalam posisi ketimpangan. Kobaran api semangat gerakan mahasiswa tidak akan pernah padam, bahkan semakin membesar selama nilai-nilai keadilan dan kebenaran masih tetap di injak-injak penguasa.

Peresensi adalah Andriadi Achmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Pergeseran Ideologi Politik PKS?

Oleh: Andriadi Achmad

Francis Bacon mendefinisikan ideologi sebagai sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Dalam artian ideologi merupakan organ vital bagi individu, sebuah komunitas atau organisasi baik berbasis agama, budaya, politik, etnis, profesional, dan lain-lain. Fungsi ideologi adalah dasar utama atau pandangan pokok yang pada tahap selanjutnya diejawantahkan ke dalam bentuk visi dan misi.

Dalam buku Ideologi Politik PKS: dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen (2008), Imdadun Rahmat menjelaskan bahwa ideologi PKS dipengaruhi organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) pimpinan Hasan Al-Banna di Mesir dan partai politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pimpinan Mohammad Natsir. Dimana IM, Masyumi, dan PKS menancapkan ideologi Islam kaffah sebagai landasan pergerakan.

Dalam konteks ke-Indonesian, secara realitas kita dapat membaca bahwa ideologi Islam kaffah yang diproklamirkan PKS berlawanan dengan nation state (negara bangsa) dan pancasila yang telah ditancapkan para founding father Indonesia. Tak hanya itu latar belakang masyarakat Indonesia, yaitu pluralisme dan multikulturalisme menjadi batu sandungan bagi perkembangan PKS ke depan.

Fenomena Kelahiran PKS

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai politik terlahir pasca Orde Baru. Secara historis PKS adalah embrio Partai Keadilan (PK) yang di deklarasikan pada tahun 1999. Kemudian electoral treshold (ET) 2 persen—UU Nomor 3 tahun 1999—menghadang PKS untuk melaju pada pemilu 2004, pada akhirnya tahun 2003 bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Pada pemilu 1999, sebagai pendatang baru PK meraih Perolehan suara cukup signifikan yaitu 1.436.565 atau 1,36 persen dan menempati posisi 9 dari 48 parpol; pada pemilu 2004 PKS menembus angka 8.325.020 atau 7,34 persen dan menempati posisi 7 dari 24 parpol; sedangkan pada pemilu 2009 PKS mampu meraup suara 8.206.955 atau 7,88 persen dan menempati posisi 4 dari 36 parpol nasional.

Kemunculan PKS cukup di perhitungkan dalam kancah perpolitikan nasional. PKS menjadi sebuah fenomena, dimana PKS menawarkan pendekatan baru dan berbeda dalam politik Islam sepanjang sejarah Indonesia. Sebagaimana dijelaskan di awal tulisan bahwa secara ideologis latarbelakang PKS sebenarnya berasal dari gerakan tarbiyah yang pertama kali muncul pada awal tahun 1980an, pergerakan tarbiyah ini bukan hanya memberikan warna baru bagi pergerakan Islam Indonesia, tetapi dengan kekhasannya mentransformasikan diri sebagai salah satu kekuatan pendorong reformasi politik, sosial, maupun budaya di Indonesia.

Kelahiran gerakan tarbiyah di Indonesia menjadi salah satu kekuatan politik dalam wadah PKS sebenarnya cukup mengherankan pelbagai kalangan, lantaran PKS di dirikan dan di pimpin tokoh-tokoh yang selama ini jauh dari popularitas dan tidak dikenal orang. Disamping itu, PKS menjadi partai unik karena merupakan partai kader yang memiliki kader yang militan dan mampu bergerak secara mandiri.

Sebagai salah satu partai Islam terbesar, PKS mempunyai tanggungjawab besar dalam mewujudkan dan merealisasikan nilai-nilai Islam. Namun, sebagaimana kita ketahui eksistensi partai berideologi Islam di Indonesia kerapkali ditinggalkan para pemilihnya—umat islam. Berdasarkan data pada pemilu 1999 perolehan suara dari 18 partai berazaz formal Islam dan di tambah PKB (12,62 persen) dan PAN (7,12 persen)—tidak berazaz Islam, bermassa Islam—mengantongi sekitar 39. 758.725 atau 37,56 persen dari 105.846.000 total suara sah, berarti sekitar 66.087.275 atau 62,44 % suara mengalir ke partai-partai politik ber-notebene tidak berazaz Islam.

Begitu pula pada pemilu 4 April 2004, gabungan seluruh perolehan suara partai politik Islam mengantongi sekitar 39 persen. Sedangkan pada pemilu 2009, dari 9 parpol Islam hanya mengantongi 29,12 persen. Dari data tergambar bahwa partai politik berideologi Islam sangat sulit untuk mengungguli partai berazaz non-Islam. Gejala semacam ini, menurut Harry J. Benda (1980) dalam buku Bulan Sabit Matahari Terbit bahwa kekuatan non Islam berhasil memporak-porandakan mayoritas statistik.

Pergeseran Ideologi Politik PKS

Pada hemat penulis, ada beberapa hal perlu menjadi catatan penting PKS dalam menghadapi pelbagai tantangan terhadap penerimaan ideologi PKS. Pertama, PKS harus beradaptasi dengan kultur politik berkembang di Indonesia. Secara umum partai politik di Indonesia yang beridologi Islam sepi dari pemilih, dalam artian perolehan suara parpol Islam selama masa Reformasi pada khususnya sangat minim. padahal secara kuantitas umat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Lebih spesifik, PKS mengalami permasalahan dalam mempertahankan eksistensi ke depan jika tak menemui solusi dalam menghadapi perilaku pemilih di kalangan Islam.
Kedua, membumikan visi dan misi PKS ke kalangan grass groot (akar rumput). Sebagaimana terjelaskan di awal bahwa ideologi diejawantakan dalam bentuk visi dan misi. Selama ini PKS lebih dikenal “partai langit” sebagai partai dakwah dan didominasi kaum terpelajar (kampus), masyarakat menengah ke atas dan masyarakat di daerah perkotaan. Karena itu gembok eklusivitas di tubuh PKS perlu di dobrak, apalagi kader-kader PKS sudah banyak menduduki posisi pimpinan publik baik di lembaga legislatif (DPR RI, DPRD) maupun eksekutif (Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota).

Adalah tak bisa dihindari tantangan untuk menjaga eksistensi PKS ke depan harus mengejawantahkan visi dan misi kesejahteraan ke kalangan masyarakat menengah ke bawah. Kalau PKS hanya mangandalkan Jargon “Profesional, peduli, dan bersih” tidak cukup sebagai modal untuk merebut hati rakyat. Sebagaimana kita ketahui beberapa parpol untuk menarik magnet suara rakyat dengan menjual ketokohan individu, sejatinya PKS menjual program dan aksi kerakyatan.

Ketiga, konsep politik PKS menuju pluralisme. Muskernas Bali tahun 2008 yang menegaskan pluralisme PKS, dalam artian bahwa PKS bergeser ke arah pluralis (partai terbuka). Tapi, sejatinya tanpa meninggalkan ideologi dakwah sebagai ideologi dasar berdirinya PKS. Pergeseran PKS menuju pluralisme, barangkali bisa mengikuti bagaimana metamorfosis partai Refah ke Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Turki.

Partai Refah berubah menjadi partai sekuler namun tetap menjadikan nilai–nilai universal Islam seperti anti korupsi sebagai isu besar yang ditawarkan kepada rakyat Turki, pada akhirnya mendapat kemenangan dan berhasil menduduki Racep Tayyip Erdogan pada kursi Perdana Menteri. Tak menutup kemungkinan dalam konteks ke-Indonesian, jika PKS sukses dalam peralihan menuju partai berorientasi pasar dan terbuka atau pluralisme, bisa jadi PKS pilihan alternatif serta meraih kemenangan dan akan menjadi primadona pada pemili-pemilu ke depan.

Fenomena pergeseran ideologi politik, bersinergi tesis Oliver Roy (1994) tentang neo-revivalisme. Dimana Roy menjelaskan bahwa Neo-Revivalisme terjadi ketika kelompok revivalisme Islam ini masuk ke ranah politik praktis. Selanjutnya kelompok ini meninggalkan karakter awalnya sebagai gerakan revolusioner dan bergeser ke arah yang lebih moderat untuk mencari jumlah massa banyak dalam usaha memenangkan pemilu. Sejatinya pada Munas III PKS 17-21 Juni 2010 ini, mampu menjadi landasan pacu bagi PKS menjadi partai untuk semua kalangan. Bisakah ditafsirkan sebagai bentuk pergeseran ideologi politik PKS?

Penulis adalah Anggota Mampang Studies Community dan Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia