Selasa, 20 April 2010

Menakar Nasionalisme Etnis Tionghoa

Oleh: Andriadi Achmad

Judul : Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia
Penulis : Leo Suryadinata
Penerbit : Komunitas Bambu
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xii + 180 Halaman
Harga : Rp. 45.000

Nusantara merupakan salah satu tempat persinggahan nenek moyang bangsa Tionghoa di masa lampau. Secara realitas, sampai hari ini banyak warga keturunan Tionghoa—sudah menjadi warga negara—tinggal di seluruh penjuru negeri kita. Walaupun secara identitas mereka hanya etnis keturunan, namun tak menutup ruang gerak, kiprah, perjuangan dan tumbuhnya sense of nasionalism.

Melalui buku Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia tengah berada di tangan pembaca ini, Leo Suryadinata merangkum sekilas biografi delapan tokoh peranakan Tionghoa Indonesia. Dimana secara historis mereka sangat berpengaruh dalam menyuarakan nasionalisme Indonesia melalui berbagai cara, lembaga dan keahlian masing-masing seperti dalam bidang hukum, sastera, dan keagamaan.

Lebih jauh, Leo dalam buku ini membagi delapan tokoh Tionghoa tersebut berdasarkan kiprah sebelum dan sesudah perang kemerdekaan RI. Pertama, tokoh-tokoh Tionghoa aktif sebelum perang kemerdekaan RI, seperti Tjoe Boe San dikenal sebagai nasionalis Tionghoa dan redaktur harian Sin Po (koran nasionalisme etnis Tionghoa) serta pernah mengadakan kampanye memberantas Undang-Undang Kekawulaan Belanda; Kwee Hing Tjiat adalah nasionalis Tionghoa dan penganjur asimilasi masyarakat Tionghoa di Indonesia; Kwee Tek Hoay sebagai seorang pengarang dan penganjur Tridharma; Liem Koen Hian merupakan seorang tokoh politik Tionghoa dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI); Kwee Kek Beng di sebut nasionalis Tionghoa di tengah dilema dalam zaman pancaroba.

Kedua, tokoh-tokoh Tionghoa aktif setelah perang kemerdekaan RI, seperti P.K. Ojong seorang wartawan kawakan dan menganjurkan asimilasi serta pendiri Harian Kompas; Abdul Karim Oey Tjeng Hien di nobatkan sebagai tokoh Islam Tionghoa sangat giat berdakwah di kalangan Tionghoa dan dekat dengan Buya HAMKA dan Soekarno; Yap Thiam Hien di ketahui sebagai advokat secara gigih membela Hak Asasi Manusia.

Menelaah secara teliti, melalui buku ini kita dapat memahami bagaimana proses perjalanan tokoh-tokoh Tionghoa tersebut mencari identitas nasional di tengah-tengah multikulturalisme (ras, suku, agama dan budaya) kehidupan berbangsa di Indonesia baik sebelum dan sesudah kemerdekaan RI serta memberi pengaruh terhadap etnis Tionghoa di Indonesia. Terukir dalam catatan sejarah, mereka berkutat mencari jalan untuk menemukan orientasi identitas antara berkiblat atau kembali ke Tiongkok, namun akhirnya mereka justru menyuarakan agar orang Tionghoa menjadi Indonesia.

Falsafah negari kita—Bhineka Tunggal Ika (walaupun berbeda-beda tapi tetap satu)—secara hakiki memberi ruang gerak kebebasan ditengah keberagaman ras, agama, suku, dan etnis. Telah terbukti bahwa perjuangan dan kiprah tokoh-tokoh etnis Tionghoa di Indonesia sejak masa lampau, setidaknya bisa menjadi parameter untuk manakar sense of nasionalism etnis tioghoa di Indonesia.

Peresensi adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Rabu, 14 April 2010

Lestari Alamku...

Oleh: R. Andriadi Achmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Indonesia


Terma “Surga Dunia” dianugerahkan kepada bangsa Indonesia mengandung makna mendalam. Secara geografis Indonesia terletak di posisi strategis, antara dua benua (Asia-Austraslia) dan dua Samudera (Pasifik-Hindia). Lebih menguntungkan lagi, negara Indonesia terletak di jantung dunia atau zamrud khatulistiwa membelah dunia. Sehingga, Indonesia berada dalam kondisi tropis—memiliki dua musim (hujan-panas).
Hutan tropis—membentang di kepulaun Indonesia dari Sabang sampai Merauke—memberikan interpretasi tersendiri akan keindahan dan keelokan alam Indonesia. Selain itu, aneka ragam hewan, tumbuhan dan semua bentuk kehidupan dapat di temukan di alam Indonesia. Oleh karena itu, tak mengherankan jika negara kita menjadi salah satu tujuan favorit pariwisata dan objek penelitian dunia.
Beberapa dekade belakangan, keelokan alam Indonesia mulai terusik. Banyak hal melatar belakangi kerusakan alam dan lingkungan hidup Indonesia. Pertama, kebakaran hutan hampir merata di seluruh Indonesia (laporan Departemen Lingkungan Hidup terjadi di 23 dari 27 propinsi Indonesia pada tahun 1997-1998). Fenomena kebakaran hutan merupakan sebuah gejala yang menegaskan telah terjadinya deforestasi massal.
Kebakaran hutan dapat mengundang peristiwa efek rumah kaca—menyebabkan ekosistem hewan akan menderita. Karena, proses pembakaran melepaskan karbon dioksida (CO2) ke udara dalam kuantitas banyak. Selain itu, kebakaran hutan juga sangat berbahaya bagi para penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut).
Kedua, pencemaran limbah industri. Secara umum limbah industri berupa bahan sintetik, logam berat, serta pelbagai bahan beracun berbahaya, sulit untuk diurai melalui proses biologi (nondegradable). Limbah industri berupa Biological Oxygen Demand ( BOD) tinggi, Endapan Ca SO4, H2S, Karbon Monoksida (CO) dalan dosis tinggi, Arsen (As), Merkuri (Hg), Belerang Dioksida (SO2) pada konsentrasi 6-12 ppm, larutan alkohol, dan insektisida sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat serta menganggu seluruh keseimbangan ekologik dan biota perairan lainnya.
Salah satu potret pencemaran limbah akut adalah di Teluk Buyat, Sulawesi Utara— teridentifikasi tercemar Arsen (As) dan Merkuri (Hg). Berdasarkan acuan ASEAN Marine Water Quality Criteria 2004, arsen di sedimen dasar laut Teluk Buyat mencapai 666 mg/kg. Pencemaran teluk buyat, akibat sisa air buangan industri, telah mematikan ikan-ikan dan menimbulkan penyakit bagi masyarakat sekitar.
Ketiga, pencemaran dan perusakan sumber daya laut. Memiliki wilayah laut terluas di kawasan Asia Tenggara bahkan di dunia adalah suatu kebanggan bagi kita. Dari data Yayasan Laut Lestari Indonesia (YLLI, 2004), laut Indonesia menyimpan aneka macam hayati seperti 450 jenis kerang batu, 2.500 moluska, 1.512 krustasea, 840 spon, 745 ekinodermata, 2.334 ikan, 30 mamalia laut, dan 38 reptilia laut.
Kekayaan tersebut terancam punah, karena praktik eksploitasi sumber daya terlalu berlebihan, penebangan hutan bakau, penggunaan bom, racun atau zat kimia dalam mengambil hasil laut, pembuangan sampah berupa botol-botol minuman dan kotoran lainnya mengapung di lautan, serta pembangunan mengabaikan kelestarian alam.
Keempat, pembuangan sampah di sembarang tempat. Pamandangan sehari-hari terlihat di sekeliling kita, dimana tumpukan busukan sampah hampir di setiap tempat bahkan di tengah-tengah jalan. Selain itu, kesemrawutan pasar rakyat menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi pemerintah, nyaris tak terselesaikan.
Pada hemat penulis, ada beberapa langkah mempercepat proses pengentasan berbagai problem kerusakan dan upaya pelestarian alam Indonesia. Pertama, mengaplikasikan peraturan ketat dan hukuman berat terhadap pelanggaran, berkaitan dengan perusakan alam dan lingkungan hidup. Fenomena selama ini, pengrusakan terhadap alam dan lingkungan hidup tak tersentuh hukum.
Padahal telah termaktub dalam UU RI No. 23/1997 pasal 41, Bab IX bahwa “Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)”.
Kedua, menggagas budaya penanaman pohon atau kewajiban bagi setiap warga negara menanam pohom (proses reboisasi). Hal ini, dapat dikonkritkan pemerintah membuat semacam peraturan pemerintah (Perpu), bahwa setiap kelahiran seseorang bayi di Indonesia untuk membuat akta kelahiran dengan syarat telah menanam satu pohon. Ketiga, membumikan filosopi populer ‘Mensana inco pore sano’ atau ‘Jiwa Sehat terdapat dalam tubuh kuat’ ke tengah masyarakat. Hal ini, bersinergi dengan pesan “Agar budaya hidup bersih di mulai dari sekolah tingkat rendah, yaitu taman kanak-kanak.
Terenggutnya kondisi kelestarian alam dan lingkungan Indonesia secara gradual, perlu tanggapan dan penyelamatan secara serius. Kesadaran masyarakat Indonesia bahwa lingkungan hidup sangat urgen untuk diperhatikan. Semua itu, harus dimulai dari instruksi dan pengawasan ketat pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian kehutanan dan lembaga terkait untuk melestarikan alam..ku.

Jumat, 09 April 2010

Meneladani Guru Bangsa Kita

Judul : Si Anak Kampoeng (Berdasarkan Kisah Buya Syafii Maarif)
Penulis : Damien Dematra
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Pertama, Februari 2010
Tebal : x+ 248 Halaman
Harga : Rp. 45.000

Buya Ahmad Syafii Maarif merupakan salah satu guru bangsa hadir di tengah-tengah multikulturalisme negeri kita. Kontribusi pemikiran dan gerakan buya baik dalam ranah kemanusian, keadilan serta kebersamaan dalam konteks pluralisme masyarakat Indonesia sangat patut diteladani. Tak banyak guru bangsa hadir dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, buya Syafii Maarif satu dari mutiara langka tersebut.

Kita hanya mengenal Buya Syafii Maarif dalam konteks kekinian, sebagai seorang guru bangsa, cendekiawaan muslim tersohor serta pernah diamanahkan sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah. Namun kita tidak pernah tahu, bahwa Buya Syafii Maarif dimasa kecilnya adalah seorang anak kampoeng nan jauh di pelosok negeri. Namun berkat kegigihan, tekad dan kemauan besar, pada akhirnya membawa buya Syafii Maarif menuju gerbang kesuksesan luar biasa.

Melalui goresan dalam buku Si Anak Kampoeng ini, Damien Dematra memotret sebuah kisah inspiratif, menggugah, dan membangun spirit dalam perjuangan tentang sekelumit kehidupan masa kecil Buya Syafii Maarif penuh dengan lika-liku. Kisah ini berawal dari sebuah desa Calau di Sumpur Kudus, Sumatera (saat ini Sumatera Barat) pada 24 Mei 1937—73 tahun silam di masa penjajahan Belanda—lahir seorang bayi diberi nama Ahmad Syafii Maarif dari ayah Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan ibu Fathiyah.
Tak berapa lama setelah kelahirannya, Ibunda tercinta menghadap sang Khalik. Selanjutnya Syafii Maarif kecil di asuh oncu Wahid dan etek Bainah—adik ayahnya. Barangkali sebuah hikmah tersendiri, walaupun tanpa belaian kasih sayang sang ibu, tertanam pada Syafii Maarif sejak kecil sifat kemandirian, tegar, mempunyai tekad kuat dan kepribadian yang menakjubkan. (hal. 11)

Memang Syafii Maarif adalah seorang anak kampung, namun cita-citanya jauh menerawang ke angkasa. Dikarunia kecerdesan jauh melampaui teman-temannya ketika duduk di Sekolah Rakyat, lalu membawa buya Syafii Maarif keluar dari tembok kampung menuju peradaban gemerlap Yogyakarta. Ternyata perjalanan takdir tak seindah bayangan, tantangan dan rintangan pun datang silih berganti. Karena suatu hal, ia menunda impian untuk melanjutkan sekolah di Mu’allimin Muhammadiyah-Yogyakarta. Tidak hanya itu, saat Syafii Maarif jauh dari keluarga, malang tak dapat ditolak seorang yang sangat berarti bagi kehidupannya kembali ke pangkuan illahi dan ia tidak berada di dekat Ayahnya.

Tekad bulat, niat telah tertanam dan do’a telah dihaturkan, musibah tersebut tidak membuat Syafii Maarif terpuruk dalam kesedihan. Bahkan, cobaan tersebut ia jadikan pelecut motivasi untuk meraih impian dan cita-cita, hal ini tergambar dalam sebuah ungkapan dalam cerita buku ini: Bapak…awak belum pulang untuk membuat Bapak bangga! Awak masih disini! Awak belum membanggakan Bapak! Awak sayang Bapak! Awak sayang Bapak! Bapak tahu, kan? Bapak tahu, kan?. (hal. 226)

Bangsa ini membutuhkan sosok pemimpin yang bisa memberi keteladanan, peduli terhadap persoalan kemanusiaan tanpa batas, tulus dan ikhlas tanpa kepentingan pribadi dalam memperjuangkan keadilan dan nilai-nilai kebenaran. Kehadiran Buya Syafii Maarif hanya dipersembahkan untuk pengabdian kepada umat dan bangsa. Adalah sebuah kemestian bagi rakyat Indonesia—khususnya generasi muda—lebih mengenal dan meneladani guru bangsa kita.

Peresensi adalah Andriadi Achmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Membedah Pemikiran Mahaguru NU

Judul : Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari
Penulis : Zuhairi Miswari
Penerbit : Kompas
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : xxx + 374 Halaman
Harga : Rp. 63.000

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi massa (ormas) Islam terbesar di Indonesia dan di dunia. Diperkirakan sekitar 40-50 juta pengikut NU tersebar di seluruh pelosok Indonesia dan menyebar ke penjuru dunia. NU didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari dan sejumlah Ulama terkemuka pada 31 Januari 1926. Dalam pergerakannya, NU mengusung paham ahlussunnah waljamaah dan ormas Islam yang dikenal sebagai tonggak gerakan moderat yang menggabungkan antara gagasan keumatan dan ide kebangsaan.

Mahaguru NU KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah seorang ulama Islam sangat terkemuka di masa perjuangan sebelum kemerdekaan sampai saat ini. Menurut Zuhairi Miswari, dalam buku Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari ini setidaknya dua hal mendudukkan Hasyim Asy’ari sebagai sosok penting di tengah-tengah umat dan bangsa Indonesia.
Pertama, Hasyim Asy’ari merupakan ulama yang secara konsisten mengusung paham Ahlussunnah wal Jamaah, yaitu paham keagamaan yang dalam akidah berpegang pada teologi al-Asy’ariyah dan al-Maturidiyah, dalam fikih pada empat imam mazhab(Syafii, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hanbal), dan dalam ranah tasawuf bersandar kepada Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi. Kedua, Hasyim Asy’ari merupakan sosok penting karena menjadi salah satu pendiri NU, bersama sejumlah ulama pesantren lainnya, yaitu organisasi sosial-keagamaan terbesar di Tanah Air, bahkan di Asia Tenggara dan dunia Islam pada umumnya.

Lebih jauh, dalam buku ini Zuhairi Miswari mencoba untuk membedah pemikiran guru besar NU ini berdasarkan empat buku karyanya, yaitu Risalah Ahlis-Sunnah wal Jama’ah: fi Haditsil Mawta wa Asyrathissa’ah wa Baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ah (paradigma Ahlusunnah wal Jamaah: Pembahasan tentang orang-orang mati, tanda-tanda zaman, dan penjelasan tentang Sunnah dan Bid’ah); Al-Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin(Cahaya yang Terang tentang Kecintaan pada Utusan Tuhan, Muhammad SAW); Adab al-Alim wal Muta’allim fi ma Yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’allumihi wa ma Yatawaqqafu alayhi al-muta’allim fi Maqamati Ta’limihi (Etika Pengajar dan Pelajar dalam Hal-hal yang Perlu Diperhatikan oleh Pelajar Selama Belajar); dan al-Tibyan: fin Nahyi ‘an Muqatha’atil Arham wal Aqarib wal Ikhwan (Penjelasan tentang Larangan Memutus Tali Silaturahmi, Tali Persaudaraan, dan Tali Persahabatan).

Dari empat karya diatas, kita bisa mencerna bahwa secara garis besar Hasyim Asy’ari membahas tentang paham Ahlussunnah wal Jamaah, bagaimana mencintai Rasulullah, ilmu sebagai fondasi umat, serta persaudaraan sebagai toleransi. Menurut Zuhairi, keempat buku tersebut merupakan dasar-dasar pemikiran yang melahirkan gagasan besar, yang kemudian dikenal sebagai paham keagamaan moderat.

Membaca buku ini membawa kita menjelajahi pemahaman sejarah, teks, konteks, maupun aktualisasi dari berbagai pemikiran Hasyim Asy’ari. Kehadiran buku ini tidak dipersembahkan hanya untuk kalangan warga NU, namun diperuntukkan kapada seluruh umat manusia baik Muslim maupun non-Muslim agar mengetahui sekelumit jasa Hasyim Asy’ari dalam membumikan gagasan keagamaan secara moderat, persaudaraan di tengah-tengah umat, dan kemerdekaan dari penjajahan sebagai mutiara pemikiran Mahaguru Nahdlatul Ulama.

Peresensi adalah Andriadi Achmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Selasa, 06 April 2010

PDIP Kehilangan Ruh Demokratis

PDIP Kehilangan Ruh Demokratis
Oleh: Andriadi Achmad


Kongres III PDIP tengah berlangsung di Sanur-Bali, 6-9 April 2010, adalah ajang bergengsi lima tahunan dalam pemilihan Ketua Umum PDIP periode 2010-2015. Sosok Megawati Soekarnoputri masih menjadi primadona tak tertandingi dalam bursa kepemimpinan PDIP lima tahun ke depan. Walaupun, beberapa nama mengapung ke permukaan seperti Prananda Prabowo dan Puan Maharani.
PDIP dikenal sebagai partai ideologis pengusung demokrasi, namun demokratisasi itu sendiri tidak tumbuh di tubuh PDIP. Fenomena ini terlihat dalam regenerasi kepemimpinan PDIP, lebih mengandalkan kehadiran dinasti Soekarno-Megawati. Sehingga, menutup kemungkinan ruang gerak kader-kader lain untuk memimpin PDIP. Kondisi ini merupakan cerminan tidak demokratis dan akan membahayakan posisi PDIP ke depan pasca Megawati.
Dalam konteks perpolitikan Indonesia, konsistensi PDIP dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dengan mendeklarasikan sebagai partai politik “wong cilik” dan mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah merupakan nilai lebih. Sebagai salah satu contoh adalah kegigihan kader-kader PDIP di DPR RI seperti Maruarar Sirait, Gayus Lumbun, dan Ganjar Pranowo—panitia khusus (pansus) angket Century—dalam membongkar kasus Century yang diindikasi melibatkan pemerintah.
Kehilangan Ruh Demokratis
Bara api di tubuh PDIP bagaikan snow ball (bola salju) menggelinding antara Taufik Kiemas-Megawati. Belakangan kerapkali terdengar meruncing perbedaan pandangan antara Megawati (Ketua Umum PDIP) dan Taufik Kiemas (Ketua Deperpu PDIP) dalam menentukan posisi partai, antara berkoalisi atau oposisi terhadap pemerintah. Begitu juga persaingan antara kakak beradik Prananda Prabowo dan Puan Maharani dalam memperebutkan posisi sebagai penerus Megawati.
Fenomena di atas minimal sebagai gambaran bahwa PDIP lebih mengedepankan sistem kedinastian. Pertanyaan mendasar adalah mengapa fungsionaris-fungsionaris PDIP seolah sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap kebijakan internal PDIP. Apakah dikarenakan faktor politis, bahwa kehilangan dinasti Soekarno sama dengan kehilangan pendukung dan suara PDIP. Bila alasan ini menyebabkan sosok Megawati tak boleh diganti, sungguh menunjukkan bahwa PDIP telah kehilangan ruh demokratis.
Menurut hemat penulis, ada beberapa faktor penyebab PDIP kehilangan ruh demokratis. Pertama, ketergantungan terhadap sosok Megawati. Keberhasilan PDIP dalam pemilu 1999 dengan meraup suara terbesar sekitar 33 persen, tak lepas dari sosok Megawati terkesan ke publik di masa pada Orde Baru terzholimi. Namum keberhasilan tersebut tidak mampu mengantarkan Megawati menuju tahta nomor satu, walaupun pada tahun 2001 menggantikan Abdurrahman Wahid di puncak kekuasaan.
Kepemimpinan Megawati dianggap gagal dan dihukum rakyat dengan kemerosotan tajam suara PDIP pada pemilu 2004 (18,6 persen) dan kekalahan Megawati head to head dengan SBY dalam putaran kedua pilpres September 2004. Begitu juga pada pemilu 2009, PDIP tidak bisa bisa mengangkat perolehan suara (12,63 persen) dan Megawati kembali menelan pil pahit kekalahan pada putaran pertama pilpres Juli 2009.
Kekalahan beruntun Megawati dan PDIP, semestinya menjadi pelajaran berharga dan sinyal bahwa kehadiran Megawati sebagai magnet partai sudah mulai meredup. PDIP harus belajar untuk berani tanpa kehadiran Megawati, disinilah ujian terbesar bagi PDIP. Bila PDIP bisa keluar dari ujian tersebut, kemungkinan terjadinya perpecahan di tubuh PDIP pasca Megawati ke depan dapat dihindari.
Sebenarnya ketergantungan PDIP terhadap Megawati adalah lonceng kematian secara perlahan-lahan bagi masa depan PDIP. Telah terbukti beberapa partai politik era reformasi mati suri akibat kehilangan sosok karismatik partai. Sebut saja, merosot tajam suara PKB pada pemilu 2009 tanpa kehadiran Gus Dur, begitu pula PBB terpental dari senayan dan tidak mampu menembus ET 2 persen dikarenakan sosok Yusri Ihza Mahendra kehilangan pamor, dan lain-lain. Bila PDIP tidak menyikapi secara serius ketergantungan terhadap Megawati, tak menutup kemungkinan PDIP akan ditinggalkan para pendukung dan simpatisannya.
Kedua, kegagalan dalam proses regenerasi di tubuh PDIP. Terdengar kabar bahwa hampir seluruh pengurus tingkat DPP, DPD, dan DPC dalam kongres III PDIP 6-9 April 2010 ini, kembali mendukung Megawati untuk memimpin PDIP lima tahun ke depan. Adapun alasan mengalir deras dukungan terhadap Megawati, adalah tidak ada sosok yang bisa menggantikan posisi Megawati.
Dalam hal ini, penulis mencermati sebagai bentuk kegagalan proses kaderisasi dan regenerasi di tubuh PDIP. Padahal, beberapa fungsionaris PDIP sebenarnya layak untuk menggantikan posisi Megawati sebagai Ketua Umum. Megawati pun sejatinya legowo dan memberikan ruang regenerasi demi keberlangsungan PDIP suatu saat tanpa kehadirannya. Megawati harus berjiwa besar untuk menumbuhkan nilai demokratis dengan mengikis sistem dinasti di tubuh PDIP.
Ketiga, posisi PDIP tidak jelas antara oposisi atau koalisi. Dalam sistem presidensial tidak ada oposisi, namun pada kenyataannya kehadiran oposisi sangat penting baik dalam sistem perlementer ataupun presidensial. Keberadaan PDIP selama ini mengklaim sebagai partai oposisi, walaupun belakangan timbul perselisihan antara Taufik Kiemas dan Megawati dalam menentukan posisi PDIP.
Kemenangan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR RI 2009-2014, merupakan hadiah dari partai koalisi pemerintah. Pasalnya, semua mitra koalisi Partai Demokrat seperti PKB, PPP, PAN, Golkar kecuali PKS mendukung Taufik Kiemas. Kado berharga inilah seolah meluluhkan hati Taufik Kiemas untuk menggagas koalisi dengan pemerintah. Sedangkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP tetap bersikukuh sebagai partai oposisi.
Ketidakjelasan posisi PDIP tergambar dari perselisihan pendapat antara fungsionaris partai, hal ini bisa menjadi bumerang bagi PDIP. Kongres III PDIP saat ini tengah berlangsung adalah ajang penentuan dan seyogyanya dapat menentukan posisi, arah dan orientasi PDIP lima tahun ke depan. Walaupun sinyal mengapung ke permukaan bahwa PDIP tidak menjadi partai oposisi tapi tetap kritis terhadap pemerintah.
Dari tiga catatan di atas menunjukkan bahwa posisi PDIP sangat dilematis dan tengah dilanda ujian berat, yaitu kehilangan ruh demokratis. Untuk itu kongres III PDIP ini ajang pembuktian apakah PDIP partai demokratis atau tetap mempertahankan sistem dinasti? Bila Megawati Terpilih kembali sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010-2015, semakin menguatkan bukti bahwa PDIP telah kehilangan ruh demokratis.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI