Senin, 13 Desember 2010

Perlukah Kader Parpol di KPU?

Oleh: Andriadi Achmad



Polemik keterwakilan parpol di Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi menu pembuka rapat komisi II DPR RI. Dimana dalam pembahasan draf rencana revisi UU no 22 tahun 2007 tentang penyelenggaran pemilu, melahirkan perdebatan antara dua kubu berseberangan menyikapi perlu atau tidak perwakilan parpol di KPU. Perbedaan pandangan kedua kubu tersebut, masing-masing mempunyai alasan kuat.

Kubu pertama dimotori F-Demokrat dan F-PAN, tidak menghendaki perwakilan parpol di KPU. Kubu pertama beralasan bahwa keterlibatan parpol dikhawatirkan dapat merusak independensi, profesionalitas dan netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Tidak selayaknya sebagai peserta pemilu, parpol juga menjadi wasit di KPU. Besar kemungkinan dengan adanya perwakilan parpol di KPU, akan ada pihak dirugikan dan tidak terakomodir.

Sedangkan kubu kedua menghendaki keterwakilan parpol di KPU (F-Golkar, F-PKS, F-PPP, F-PKB, F-Gerindra, F-Hanura). Kubu kedua beralasan bahwa pemilu merupakan pesta rakyat dimana parpol sebagai pemain utama, karena itu perwakilan parpol di KPU penting. Anggota KPU berasal dari parpol diyakini dapat menjaga transparansi kerja KPU dan lebih memahami dinamika parpol di ajang pemilu.

Dalam tulisan Independensi KPU Dalam Ancaman (Kompas, 26/11/2010), Bawono Kumoro memaparkan bahwa parpol telah melakukan sejumlah manuver agar mampu keluar sebagai pemenang pada pemilu. Salah satunya, dengan menyusupkan kepentingan politik mereka pada revisi UU paket politik, terutama UU tentang penyelenggaraan pemilu. ,Beberapa parpol bersikeras meloloskan peraturan yang membolehkan orang parpol duduk di jajaran komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam pandangan penulis, ada atau tidak perwakilan parpol di KPU. Tetap saja netralitas dan independensi KPU sulit untuk dijamin dalam menyelenggarakan pemilu bersih, jujur, dan adil. Dimana bisa menjadi alasan kuat adalah, praktik money politic dalam berbagai motif seperti dalam traksaksi jual beli suara atau penggelembungan suara serta adanya intervensi pemerintah berkuasa. Selama ini, banyak rumor beredar bahwa KPU cenderung berkiblat menuju partai pemerintah.
Contoh kasus perekrutan komisioner Andi Nurpati menjadi fungsionaris Partai Demokrat, menimbulkan rumor ke permukaan bahwa Andi Nurpati telah membantu mensukseskan Partai Demokrat dan SBY sebagai pemenang pemilu dan pilpres 2009, padahal Andi Nurpati berasal dari non-parpol. Walaupun kasus ini tidak bisa mewakili alasan bahwa anggota KPU cenderung sulit untuk menjaga independensi dan netralitas.
Tetapi setidaknya bisa menjadi gambaran awal, berlatar belakang non-parpol atau kader parpol menjadi anggota KPU, tetap saja netralitas KPU sulit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, wajar saja menimbulkan keinginan beberapa parpol untuk melibatkan kader parpol di KPU. Mengingat posisi KPU sangat strategis dan mempunyai peran vital dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu.

Lebih jauh, penulis berargumen bahwa di satu sisi tidak salah keinginan parpol menginginkan adanya perwakilan di KPU. Tetapi di sisi lain tidak perlu keterlibatan parpol sebagai anggota KPU demi menjaga independensi KPU sebagai pelaksana pemilu. Sejatinya anggota KPU terbebas dari kepentingan partai politik tertentu. Walaupun anggota KPU tersebut, mantan kader parpol dan berhenti dari keanggotaan parpol setelah terpilih menjadi anggota KPU.

Di samping itu, menjadi pekerjaan berat bagi anggota parpol menjadi anggota KPU adalah harus mampu meyakinkan publik bahwa keberadaannya tidak akan membawa kepentingan partai dimana komisioner tesebut berasal. Bukan rahasia umum kerap kali anggota KPU berasal dari non parpol pun mengakhiri karirnya di parpol tertentu. Hal ini menjadi perseden buruk anggota KPU yang berasal dari parpol.

Berkaca dari pemilu 1999, keterlibatan parpol di lembaga penyelenggara pemilu disinyalir cukup sukses dan demokratis. Berbeda dengan pemilu 2004 dan 2009, di mana cukup banyak pelanggaran terjadi. Sehingga menimbulkan asumsi bahwa KPU berasal dari profesional justru tidak independen, bahkan pelaksanaan pemilu 2009 di indikasi terdapat ketimpangan, karena KPU tidak independen dan kurang memahami posisi serta peran parpol sebagaimisal parpol tidak boleh tahu masalah IT dan proses perhitungannya.

Sehingga realitas ini menimbulkan, anggapan bahwa keanggotaan KPU berasal dari kalangan profesional dan isu anggota KPU sisipan parpol tertentu. Dalam artian tidak ada jaminan KPU berlatar belakang profesional atau non-parpol bisa menjaga independensi dan netralitas dalam menyelenggarakan pemilu.
Revisi UU Penyelenggaran Pemilu

Setelah melalui perdebatan sengit antara kubu menolak dan menerima keterwakilan parpol di komisi II DPR RI, dengan mekanisme voting minus F-Demokrat yang memutuskan walk out. Dalam voting tersebut, tujuh fraksi yakni F-Golkar, F-PDIP, F-PKS, F-PPP, F-PKB sepakat dengan isi draf rencana revisi tersebut, hanya F-PAN menolak usulan draf tersebut.

Adapun revisi UU nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tersebut, komisi II DPR RI pada akhirnya menyepakati lima usulan. Pertama, memperketat mekanisme seleksi dan memperberat sanksi. Sebelumnya sanksi hanya bersifat perdata dengan mengembalikan gaji selama menjadi penyelenggara pemilu, tapi usulan terbaru dimana sanksi juga bersifat pidana.

Kedua, keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjumlah tujuh orang dan bisa diterima anggota KPU berlatar belakang parpol, tetapi dengan catatan yang bersangkutan mengundurkan diri begitu mendaftar sebagai calon anggota dan pencalonannya harus atas inisiatif pribadi, bukan sebagai perwakilan partai.
Ketiga, dalam rentang lima tahun pasca tugas di KPU, anggota KPU tidak boleh bekerja di jabatan politik maupun pemerintahan, termasuk Badan Usaha Milik Negara. Tetapi dengan kompensasi pemerintah akan memberi tunjangan kepada mantan anggota KPU tersebut baik anggota di pusat, provinsi, dan kota/kabupaten.

Keempat, keanggotaan Dewan Kehormatan (DK) KPU boleh berasal dari perwakilan parpol, khususnya parpol yang lolos parliamentary threshold dengan komposisi sembilan anggota dari parpol, satu anggota dari KPU, satu dari Bawaslu, dan tiga dari tokoh masyarakat dengan total keanggotaan 15 orang.

Terlepas dari polemik diatas, sebenarnya bagi rakyat Indonesia bahwa keterlibatan parpol atau tidak di KPU bukan perkara penting. Paling pokok adalah bagaimana pemilu bisa berjalan dengan lancar dan melahirkan pemimpin yang berpihak pada rakyat. Tuntutan kesejahteraan, peluang kerja terbuka lebar, menjaga martabat dan kedaulatan bangsa merupakan hal paling urgen dan mendesak.

Penulis adalah Mahasiswa Konsentarsi Studi Parpol, Pemilu, dan Parlemen Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar