Senin, 13 Desember 2010

Mempersoalkan Konfederasi Parpol

Oleh: Andriadi Achmad


Menjelang pengesahan Undang Undang pemilu, khususnya mengenai kenaikan Parliamantary Threshold (PT) dari 2,5 persen bergeser menjadi 5 persen. Secara realitas kita dapat membaca bahwa mulai menghangat menjadi perbincangan ke permukaan adalah wacana penerapan konfederasi parpol sebagai salah satu alternatif menjadi tawaran untuk mengantisipasi hal tersebut.

Setidaknya, beberapa waktu lalu terdapat sekitar 17 parpol seserta pemilu 2009 tidak lolos parliamentary threshold mulai menyusun kekuatan guna menghadapi Pemilu 2014 dengan melebur dalam Forum Persatuan Nasional (FPN), seperti PBB, PDS, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, PPD, Partai Patriot, PNBK, PPI, PMB, Partai Pelopor, PKDI, PIS, PPIB, dan PDI.

Begitu juga Partai Gerindra terus memperkuat jaringan menuju pemilu dan Pilpres 2014, sebagai permulaan Gerindra membangun komunikasi dan berencana membangun nota kesepakatan konfederasi dengan enam parpol seperti Partai Buruh, Partai Merdeka, PPNUI, PNI Marhaenisme, Partai Kedaulatan dan Persi. Tak ketinggalan, PAN sebagai penggagas konfederasi mulai membangun komunikasi politik dengan beberapa parpol non-parlemen, setidaknya dibuktikan pertemuan pimpinan PAN dengan tujuh parpol non-parlemen seperti PDP, PPD, PNBK, Partai Pelopor, PMB, PIB, PNDI. Sementara partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, PDIP dan partai-partai menengah yaitu PKS, PPP, PKB, Hanura, secara realitas terlihat belum menanggapi wacana tersebut.

Konfederasi parpol di tengah dinamika dan konfigurasi politik di Indonesia, pada satu sisi memiliki kelebihan dalam hal daya ikat permanen tanpa harus meleburkan identitas multi partai politik yang berkonfederasi. Namun di sisi lain dalam prakteknya, konfederasi parpol mempunyai kelemahan yaitu tak mudah menyatukan perbedaan Platform dan ideologi partai politik.

Menurut peneliti senior LIPI, Ikrar Nusa Bhakti bahwa pembentukan konfederasi bukan sesuatu hal mudah untuk dilakukan. Setidaknya ada beberapa alasan untuk mendukung kesimpulan tersebut. Pertama, dalam sejarah politik Indonesia, perpecahan partai lebih menonjol ketimbang pembentukan konfederasi. Kedua, konfederasi politik biasanya terjadi akibat politik paksaan dari penguasa ketimbang atas dasar keinginan sendiri. Ketiga, konfederasi partai politik lebih didasari oleh kepentingan politik elite ketimbang kepentingan massa pendukung.

Dari sekian banyak parpol peserta pemilu di Indonesia pasca reformasi. Secara umum hanya ada dua ideologi besar diadopsi parpol di Indonesia yaitu religious dan nasionalisme atau marhaenisme. Walaupun demikian, tetap saja menjadi pekerjaan rumit untuk menyatukan parpol berideologi sama. Sebagai contoh, pada pemilu tahun 1999 terdapat Golkar-PKPI-PKPB atau PPP-PK-PBB-PUI atau PDIP-PDI dan sejenisnya.

Begitu juga pada pemilu 2004, seperti antara PKS-PBB-PBR-PBB-PNUI-PKB atau Partai Demokrat-Golkar-PKPI-PKPB atau PDIP-Partai Pelopor-PNBK dan seterusnya. Tak ubahnya pada pemilu 2009, antara Partai Demokrat-Golkar-Hanura-PKPB-PKPI-Gerindra atau PDIP-PDP-PNBK-Partai Pelopor-PNI Marhaenisme atau PKS-PPP-PBB-PBR-PPNUI-PKNU dan sejenisnya. Dari realitas tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa parpol berideologi sama tetap sulit untuk disatukan.

Penyederhanaan dan Konfederasi Parpol

Belakangan kerapkali menghangat adalah isu penyederhanaan parpol. Salah satu cara penyederhanaan partai secara alamiah dengan menaikkan PT 5 persen. Sebenarnya dari sudut efisiensi dan efektifitas, penyederhanaan partai menjadi hal sangat urgen dan mendesak. Mengingat pembiayaan multi parpol dalam pelaksanaan pemilu jelas sangat boros dan tentunya menghamburkan uang rakyat.

Walaupun dari sudut hak kebebasan, penyederhanaan parpol sebagai upaya membatasi hak individu untuk berekspresi secara politik. Adapun jalan tengah untuk dua sudut pandang diatas, adalah dengan pembentukan konfederasi bagi partai politik yang tidak lolos PT. Karena ide alternatif tersebut sangat mengakomodasi tuntutan akan penyederhanaan partai dan tuntutan mengenai perlunya penghargaan terhadap kebebasan rakyat untuk berekspresi politik.

Sejatinya hal lebih penting disadari bersama adalah bagaimana mengelola partai politik secara profesional dan bertanggungjawab. Partai Politik yang didirikan hanya untuk mengikuti trend dan nafsu politik atas nama kebebasan berakibat pada kurangnya suara dukungan dan simpati rakyat. Partai-partai semacam ini memang layak untuk dibubarkan dan tidak perlu dipertahankan melalui pembentukan konfederasi.

Belajar dari pemilu 2009 lalu, penerapan PT 2,5 persen menyebabkan sekitar 16 juta suara hilang sia-sia. Bahkan ada beberapa partai politik yang memiliki basis massa yang bagus tetapi tidak ada wakil di parlemen. Sebagai contoh adalah caleg PBB Yusron Ihza Mahendra dari daerah pemilihan Bangka Belitung dan Ali Mochtar Ngabalin dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan 3 mendapat kursi di DPR, tetapi batal duduk di senayan lantaran PBB (1,79 persen) tidak lolos PT 2,5 persen.

Kedua contoh kegagalan caleg DPR RI dari PBB diatas, sebenarnya tidak mencerminkan bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi masyarakat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dengan konfederasi parpol calon anggota DPR yang memenuhi jumlah suara tetap bisa duduk di parlemen, meski perolehan partainya tidak lolos PT. Di samping mencegah suara yang hilang, konfederasi akan membentuk suatu koalisi yang kuat dan solid dalam mendukung sistem pemerintahan presidensial.

Lebih jauh, konfederasi parpol harus benar-benar dimengerti oleh pemilih. Perlu dihindari suatu kesepakatan sesudah pemilu. Kalau bisa terbentuk konfederasi secara penuh, ada dua alternatif cara pendaftaran calon legislatif yaitu dengan bernaung dalan satu konfederasi atau bisa juga dipilih tetap dalam partainya masing-masing. Namun harus digabungkan pada saat terutama pada penghitungan suara yang kedua.
Selain itu, perlu menjadi catatan penting adalah penerapan konfederasi parpol sejatinya harus diatur dalam UU secara legal formal seperti UU tentang partai politik dan UU tentang pemilu. Bila hanya terjalin diatas suatu kesepakatan, dikhawatirkan tidak adanya suatu kekuataan mengikat dalam konfederasi antar parpol tersebut dan bisa saja hasilnya tidak memuaskan.

Kemunculan ide konfederasi parpol sudah sewajarnya di era demokrasi saat ini. Tetapi perlu menjadi catatan khusus, apakah konfederasi parpol akan membawa manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat atau justru hanya sekedar untuk menjaga eksistensi elit parpol dipanggung politik? Kecepatan perubahan politik dinegeri kita sulit untuk diukur, sehingga hanya waktu akan menjawab semua itu.

Penulis adalah Mahasiswa Konsentarsi Studi Parpol, Pemilu, dan Parlemen Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

(tulisan ini, di publish Sabtu 20 November 2010 di Koran Seputar Indonesia)

Perlukah Kader Parpol di KPU?

Oleh: Andriadi Achmad



Polemik keterwakilan parpol di Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi menu pembuka rapat komisi II DPR RI. Dimana dalam pembahasan draf rencana revisi UU no 22 tahun 2007 tentang penyelenggaran pemilu, melahirkan perdebatan antara dua kubu berseberangan menyikapi perlu atau tidak perwakilan parpol di KPU. Perbedaan pandangan kedua kubu tersebut, masing-masing mempunyai alasan kuat.

Kubu pertama dimotori F-Demokrat dan F-PAN, tidak menghendaki perwakilan parpol di KPU. Kubu pertama beralasan bahwa keterlibatan parpol dikhawatirkan dapat merusak independensi, profesionalitas dan netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Tidak selayaknya sebagai peserta pemilu, parpol juga menjadi wasit di KPU. Besar kemungkinan dengan adanya perwakilan parpol di KPU, akan ada pihak dirugikan dan tidak terakomodir.

Sedangkan kubu kedua menghendaki keterwakilan parpol di KPU (F-Golkar, F-PKS, F-PPP, F-PKB, F-Gerindra, F-Hanura). Kubu kedua beralasan bahwa pemilu merupakan pesta rakyat dimana parpol sebagai pemain utama, karena itu perwakilan parpol di KPU penting. Anggota KPU berasal dari parpol diyakini dapat menjaga transparansi kerja KPU dan lebih memahami dinamika parpol di ajang pemilu.

Dalam tulisan Independensi KPU Dalam Ancaman (Kompas, 26/11/2010), Bawono Kumoro memaparkan bahwa parpol telah melakukan sejumlah manuver agar mampu keluar sebagai pemenang pada pemilu. Salah satunya, dengan menyusupkan kepentingan politik mereka pada revisi UU paket politik, terutama UU tentang penyelenggaraan pemilu. ,Beberapa parpol bersikeras meloloskan peraturan yang membolehkan orang parpol duduk di jajaran komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam pandangan penulis, ada atau tidak perwakilan parpol di KPU. Tetap saja netralitas dan independensi KPU sulit untuk dijamin dalam menyelenggarakan pemilu bersih, jujur, dan adil. Dimana bisa menjadi alasan kuat adalah, praktik money politic dalam berbagai motif seperti dalam traksaksi jual beli suara atau penggelembungan suara serta adanya intervensi pemerintah berkuasa. Selama ini, banyak rumor beredar bahwa KPU cenderung berkiblat menuju partai pemerintah.
Contoh kasus perekrutan komisioner Andi Nurpati menjadi fungsionaris Partai Demokrat, menimbulkan rumor ke permukaan bahwa Andi Nurpati telah membantu mensukseskan Partai Demokrat dan SBY sebagai pemenang pemilu dan pilpres 2009, padahal Andi Nurpati berasal dari non-parpol. Walaupun kasus ini tidak bisa mewakili alasan bahwa anggota KPU cenderung sulit untuk menjaga independensi dan netralitas.
Tetapi setidaknya bisa menjadi gambaran awal, berlatar belakang non-parpol atau kader parpol menjadi anggota KPU, tetap saja netralitas KPU sulit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, wajar saja menimbulkan keinginan beberapa parpol untuk melibatkan kader parpol di KPU. Mengingat posisi KPU sangat strategis dan mempunyai peran vital dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu.

Lebih jauh, penulis berargumen bahwa di satu sisi tidak salah keinginan parpol menginginkan adanya perwakilan di KPU. Tetapi di sisi lain tidak perlu keterlibatan parpol sebagai anggota KPU demi menjaga independensi KPU sebagai pelaksana pemilu. Sejatinya anggota KPU terbebas dari kepentingan partai politik tertentu. Walaupun anggota KPU tersebut, mantan kader parpol dan berhenti dari keanggotaan parpol setelah terpilih menjadi anggota KPU.

Di samping itu, menjadi pekerjaan berat bagi anggota parpol menjadi anggota KPU adalah harus mampu meyakinkan publik bahwa keberadaannya tidak akan membawa kepentingan partai dimana komisioner tesebut berasal. Bukan rahasia umum kerap kali anggota KPU berasal dari non parpol pun mengakhiri karirnya di parpol tertentu. Hal ini menjadi perseden buruk anggota KPU yang berasal dari parpol.

Berkaca dari pemilu 1999, keterlibatan parpol di lembaga penyelenggara pemilu disinyalir cukup sukses dan demokratis. Berbeda dengan pemilu 2004 dan 2009, di mana cukup banyak pelanggaran terjadi. Sehingga menimbulkan asumsi bahwa KPU berasal dari profesional justru tidak independen, bahkan pelaksanaan pemilu 2009 di indikasi terdapat ketimpangan, karena KPU tidak independen dan kurang memahami posisi serta peran parpol sebagaimisal parpol tidak boleh tahu masalah IT dan proses perhitungannya.

Sehingga realitas ini menimbulkan, anggapan bahwa keanggotaan KPU berasal dari kalangan profesional dan isu anggota KPU sisipan parpol tertentu. Dalam artian tidak ada jaminan KPU berlatar belakang profesional atau non-parpol bisa menjaga independensi dan netralitas dalam menyelenggarakan pemilu.
Revisi UU Penyelenggaran Pemilu

Setelah melalui perdebatan sengit antara kubu menolak dan menerima keterwakilan parpol di komisi II DPR RI, dengan mekanisme voting minus F-Demokrat yang memutuskan walk out. Dalam voting tersebut, tujuh fraksi yakni F-Golkar, F-PDIP, F-PKS, F-PPP, F-PKB sepakat dengan isi draf rencana revisi tersebut, hanya F-PAN menolak usulan draf tersebut.

Adapun revisi UU nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tersebut, komisi II DPR RI pada akhirnya menyepakati lima usulan. Pertama, memperketat mekanisme seleksi dan memperberat sanksi. Sebelumnya sanksi hanya bersifat perdata dengan mengembalikan gaji selama menjadi penyelenggara pemilu, tapi usulan terbaru dimana sanksi juga bersifat pidana.

Kedua, keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjumlah tujuh orang dan bisa diterima anggota KPU berlatar belakang parpol, tetapi dengan catatan yang bersangkutan mengundurkan diri begitu mendaftar sebagai calon anggota dan pencalonannya harus atas inisiatif pribadi, bukan sebagai perwakilan partai.
Ketiga, dalam rentang lima tahun pasca tugas di KPU, anggota KPU tidak boleh bekerja di jabatan politik maupun pemerintahan, termasuk Badan Usaha Milik Negara. Tetapi dengan kompensasi pemerintah akan memberi tunjangan kepada mantan anggota KPU tersebut baik anggota di pusat, provinsi, dan kota/kabupaten.

Keempat, keanggotaan Dewan Kehormatan (DK) KPU boleh berasal dari perwakilan parpol, khususnya parpol yang lolos parliamentary threshold dengan komposisi sembilan anggota dari parpol, satu anggota dari KPU, satu dari Bawaslu, dan tiga dari tokoh masyarakat dengan total keanggotaan 15 orang.

Terlepas dari polemik diatas, sebenarnya bagi rakyat Indonesia bahwa keterlibatan parpol atau tidak di KPU bukan perkara penting. Paling pokok adalah bagaimana pemilu bisa berjalan dengan lancar dan melahirkan pemimpin yang berpihak pada rakyat. Tuntutan kesejahteraan, peluang kerja terbuka lebar, menjaga martabat dan kedaulatan bangsa merupakan hal paling urgen dan mendesak.

Penulis adalah Mahasiswa Konsentarsi Studi Parpol, Pemilu, dan Parlemen Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI