Kamis, 03 Desember 2009

SBY, Megalomania dan Jatuh Ke Prabon

SBY, Megalomania dan Jatuh Keprabon
Oleh: R. Andriadi Achmad


Secara makna bahasa megalomania berasal dari rangkain dua kata bahasa Yunani, Megalo berarti sangat besar, termashur, atau berlebih-lebihan, dan Mania berarti bentuk obsesi berlebihan terhadap sesuatu. Megalomania dapat diartikan sebagai bentuk obsesi berlebihan yang mendorong seseorang pada kebutuhan terhadap sesuatu bersifat irasional—perasaan kemuliaan dan kebesaran berlebih-lebihan atas eksistensi diri.
Bersinergi dengan teori Sigmun Freud bahwa akar dari sindrom megalomania adalah gejala narsistik yang sakit, dimana penderitanya memiliki keyakinan diri yang dibesar-besarkan, berbentuk waham dan diyakini secara absolut. Megalomaniac dalam memimpin cenderung mendorong nafsu otoriter, totaliter dan diktator. Selain itu, sifat dan karakteristik lain kepribadian sindrom megalomania kebal akan kritikan walaupun telah terbukti salah.
Sebagaimana terekam dalam perjalanan sejarah peradaban dunia, bahwa bangsa-bangsa yang dipimpin seorang Megalomaniac rentan berada dalam cekaman pembantain, kemiskinan, dan keterpasungan akan sebuah kebebasan. Dalam artian sangat berbahaya dalam konteks demokrasi. Sindrom megalomania sangat bertolak belakang dengan konsep demokrasi liberal yang banyak di adopsi negara-negara di dunia pada era kekinian.
Dalam sejarah politik abad pertengahan, dalam buku The Prince (1513) Machievelli membangun sebuah argumen cukup kontroversial mengenai bagaimana memperoleh dan mempertahakan kekuasan “menggunakan segala cara”. Konsep tersebut memberikan semacam gambaran bahwa seorang penguasa dalam mempertahankan kekuasaan, di satu sisi harus menyulap diri menjadi rubah (fox) agar bisa terhindar dari jebakan lawan, dan di sisi lain menjelma menjadi singa (lion) untuk menakuti serigala. Walaupun pada akhirnya, Machievelli mengakui kelemahan gagasannya dan menyiratkan bahwa kepemimpinan semacam itu akan tidak terhormat dan dikenang sebagai pemimpin ‘’kontroversial”.
Teori kekuasaan Machievelli secara terbuka dianut Musollini (Itali), Hittler (Jerman)—berdasarkan pengakuan keduanya. Secara terselubung diadopsi Mao Te Tsung (Cina); Soekarno dan Soeharto (Indonesia); Ferdinand Marcos (Filipina), Primo De Rivera dan Jenderal De Franco (Spanyol), Batista (Kuba), Juan Peron (Argentina), Saddam Hussein (Irak), dan sejenisnya. Para pemimpin tersebut terjebak sindrom Megalomania, sehingga menjadi otoriter, diktator, dan totaliter. Sebuah realitas tercatat dalam lembaran sejarah bahwa penguasa tersebut terjungkal dari kekuasaan dengan paksa dan tanpa hormat.
SBY dan Bahaya Megalomania
Kecemerlangan SBY dalam pergulatan politik dewasa ini, mengundang decak kagum dari pelbagai kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan kemenangan telak satu putaran SBY dalam pilpres 8 Juli 2009 (60,8 persen). Selain itu, kharismatik dan kewibawaan SBY juga menjadi magnet penghantar kemenangan partai Demokrat (20,85persen) dalam pelilihan legislatif 9 April 2009.
Arah sejarah sebuah bangsa berada dalam gengaman sang penguasa, posisi SBY dalam konteks Indonesia kekinian adalah sebuah fenomena. Sebagaimana kita mengenang kehadiran dua pemimpin besar bangsa kita, Soekarno dan Soeharto. Soekarno dikenal sebagai pemimpin besar revolusi Indonesia, Soekarno memimpin bangsa yang baru mendeklarasikan revolusi kemerdekaan RI, dengan menghadapi pelbagai kemelut dan segudang permasalahan dalam rangka membangun eksistensi menuju sebuah bangsa yang independen, mandiri, dan bermartabat.
Sedangkan Soeharto dikenal sebagai bapak pembangunan, yang terbukti berhasil memimpin bangsa Indonesia keluar dari ekonomi rusak parah (inflasi sampai 600 persen). Terlepas dari noda-noda hitam dimasa kepemimpinan kedua memimpin tersebut, harus diakui mereka adalah potret pemimpin kuat dan sangat berpengaruh dalam pelbagai konstelasi politik dan kebangsaan dimasanya masing-masing.
Sebuah fenomena menarik untuk dikaji, pemimpian sekaliber Soekarno (1966) dan setangguh Soeharto (1998) jatuh ke prabon secara tidak hormat dan terkesan dipaksakan rakyat. Hal ini telah membuktikan bahwa diktatorisme yang di gunakan Soekarno (1945-1966) dan otoriterisme yang dipakai Soeharto (1967-1998) tidak mampu membendung kedaulatan rakyat dan meminjam istilah J.J. Rousseou generale volontore atau general will (kehendak rakyat).
Menelaah lebih jauh, dalam sebuah tulisan tajam Eef Saefulloh Fatah (Tempo, Edisi Oktober 2009) dengan judul ’Kemenangan-kemenangan Yudhoyono’, manyiratkan bahwa manakala kekuasaan dan kendali makin mengumpul di tangan satu orang yang semakin sensitif, antikritik, tak lagi rela mendengar, dan dengan penuh percaya diri mengaku menjual minuman segar padahal menjajakan botol kosong yang dikemas cantik. Jadi, jangan-jangan, ”kemenangan” itu sesungguhnya adalah kekalahan yang tertunda.
Secara cermat kita dapat melihat muara tulisan Eef sebenarnya mengarah pada sebuah kesimpulan bahwa kepemimpinan SBY sudah mulai mengidap sindrom Megalomania yang terbungkus rapi. Hal ini, tercermin dari sikap politik SBY dan gerak-gerik SBY belakangan ini. Setidaknya, gejala ini mulai terlihat pasca kemenangan Demokrat dan SBY pada pileg dan pilpres 2009.
Pada hemat penulis, ada dua faktor bisa menyelamatkan kepemimpinan SBY dari gejala sindrom Megalomania. Pertama, sistem demokrasi yang dianut bangsa kita. Dalam sebuah tatanan negara menganut sistem demokrasi, secara umum adanya fusion of power (pembagian kekuasaan) sebagaimana gagasan Montesquieu trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
SBY sebagai refresentatif dari kekuasaan eksekutif selalu di kontrol dan diawasi kekuasaan legislatif (DPR) serta diadili-dihakimi kekuasaan yudikatif (MA,MK,KY). Sehingga sulit untuk membangun kekuataan otoriter bila berjalannya fungsi-fungsi dari kekuasaan-kekuasaan tersebut.
Kedua, menguatnya bangunan civil society sebagai watch dog (anjing pengongong). Pelbagai bentuk organisasi masyarakat, Non-Government Organization (NGO) hadir di tengah pergulatan perpolitikan bangsa Indonesia seperti Muhammadiyah, NU, ICW, TII, LBH, dan sejenisnya. Kehadiran refresentatif dari civil society ini akan senantiasa membendung kesewenangan penguasa.
Dua kemungkinan besar akan terjadi di tengah transisi demokrasi di negeri kita: kontelasi politik kepemimpinan SBY lima tahun ke depan akan membuktikan bahwa sindrom Megalomania sudah tidak relevan di zaman modern ini, atau kepemimpinan SBY lima tahun ke depan membawa kita kembali ke alam otoriter dan terjerumus sindrom Megalomania dengan episode akhir jatuh ke prabon.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI--
Direktur Eksekuitif PDIYoG (Political Development of Indonesian’n the Young Generation)

Rabu, 04 November 2009

Gerakan Mahasiswa, Awasi KIB Jilid II

Terdeteksi dari 34 menteri KIB Jilid II terisi sekitar 18 personil merupakan utusan dari partai politik dengan komposisi 5 dari Demokrat (EE Mangindaan, Jero Wacik, Andi A. Malarangeng, Darwin Saleh, Syarifuddin Hasan), 4 dari PKS (Tifatul Sembiring, Salim Segaf Al-Jufri, Suharna Supranata, Suswono); 3 dari Golkar (Agung Laksono, MS. Hidayat, Fadel Muhammad), 2 dari PAN (Patrialis Akbar, Zulkifli Hasan), 2 dari PPP (Suryadharma Ali, Suharso Monoarfa), dan 2 dari PKB (Muhaimin Iskandar, A. Helmy Faisal Zaini).
Koalisi dan politik balas budi sangat kental terlihat dalam KIB Jilid II. Sebagaimana realitas membahasakan bahwa 50 persen lebih anggota KIB diwarnai utusan koalisi parpol pendukung SBY-Boediono. Kekhawatiran banyak kalangan bahwa koalisi yang dibangun di atas balas jasa cenderung abai terhadap profesionalitas dan loyalitas.
Transisi demokrasi tengah berlangsung di negeri kita, sudah barang tentu berujung pada dua kemungkinan: konsolidasi atau kembali otoriter. Dukungan fantastis terhadap Partai Demokrat pada pileg 9 April 2009 (20,85 persen) dan kemenangan telak satu putaran SBY-Boediono (60.08 persen) pada pilpres 8 Juli 2009. Sejatinya sebagai salah satu sinyalemen bahwa pemerintahan SBY-Bodiono cukup kuat. Ditambah lagi dukungan politik di parlemen (PD, PKS, PPP, PKB, PAN, Golkar) terhadap SBY-Boediono sekitar 75,5 persen atau 423 kursi.
Dalam konteks kekinian, melemahnya peran oposisi di parlemen (parpol)—PDI-P; Gerindra; dan Hanura (24,5 persen)—dan menguatnya posisi penguasa, kecenderungan untuk otoriter terbuka lebar. Karena itu dibutuhkan gerakan penyeimbang lain, salah satunya gebrakan perlemen jalanan—gerakan mahasiswa—yang masih terbebas dari vested interest terhadap kepentingan.
Menurut hemat penulis, ada dua peran yang perlu dimainkan gerakan mahasiswa dalam menyikapi kabinet koalisi jilid II ini. Pertama, meneguhkan kembali fungsi sebagai agent of control. Secara realitas dalam sistem presidensial mengambil posisi sebagai oposisi tidak mempunyai tempat, kita bisa lihat hal ini dalam parlemen kita. Karena itu, gerakan mahasiswa bisa menjadi oposisi loyalis—mendukung program dan kebijakan pro-rakyat serta mengkritisi kebijakan-kebijakan anti-rakyat.
Kedua, merumuskan dan mengusulkan program kerja versi mahasiswa kepada pemerintahan SBY. Sebagai elemen intelektual kampus, gerakan mahasiswa tentunya bisa merumuskan dan mengusulkan pelbagai program kerja—pro-rakyat—kepada pemerintah untuk lima tahun ke depan. Adalah suatu keniscayaan dikaji secara mendalam terlebih dahulu dengan melibatkan guru besar-guru besar (pakar dan profesor) kampus berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing.
Gerakan ini akan lebih memperlihatkan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual. Turun ke jalan adalah alternatif terakhir bagi gerakan mahasiswa, teriakan-teriakan bernas dan ganas di lapangan tanpa di ejawantahkan dalam bentuk draft-draft akan sia-sia dan cenderung akan menghilang begitu saja. Tak ada jalan lain bagi gerakan mahasiswa untuk kembali menancapkan taring di hadapan penguasa, adalah melalui kegiatan-kegiatan bernuansa intelektual seperti merumuskan dan mengusulkan program-program kerja yang menyentuh rakyat.
Kedua poin utama diatas setidaknya bisa menjadi masukan bagi gerakan mahasiswa se-Indonesia untuk semakin meneguhkan paltform Gerakan Intelektual Mahasiswa (Intellectual Movement Student) yang pernah dicetuskan dalam deklarasi Padang tahun 2006. Kehadiran gerakan mahasiswa dalam konteks kekinian sangat urgen dalam mengawasi kinerja KIB Jilid II, ayo kita awasi...!

R. Andriadi Achmad
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Mantan Aktivis BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia)

Senin, 26 Oktober 2009

Rapor Merah DPR RI 2004-2009

Rapor Merah DPR RI 2004-2009
Oleh: R. Andriadi Achmad


Tanpa terasa para wakil rakyat kita telah berganti sejak dilantiknya anggota DPR RI 2009-2014, 1 Oktober 2009 lalu. Kenduri demokrasi 8 April 2009 telah mengantarkan 560 anggota DPR terpilih mewakili 33 provinsi se-Indonesia menuju kursi empuk di senayan.
Adapun dari 9 partai politik yang lolos parliamantary threshold 2,5 persen—aturan untuk mengirim wakil di parlemen—dengan komposisi, Demokrat 150 kursi; Golkar 107 kursi; PDI-P 95 kursi; PKS 57 kursi; PAN 43 kursi; PPP 37 kursi; PKB 27 kursi; Gerindra 26 kursi; dan Hanura 18 kursi.Perampingan jumlah fraksi di DPR melalui PT 2,5 persen sejatinya menjadi upaya selektifitas dalam menentukan parpol yang layak untuk berada di senayan.
Wajah para wakil rakyat terpilih merupakan notabene representatif dan harapan dari jutaan rakyat Indonesia. Secara jelas John Loke dalam buku Two Treatises of Government (1965), mendefenisikan bahwa kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara, kekuasaan ini dijalankan oleh parlemen yang merupakan pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas-kelas sosial masyarakat baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata.
Adalah sebuah keniscayaan tugas utama wakil rakyat mengemban amanah sebagai penyambung lidah rakyat serta berada di garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bila di sinergiskan dengan tugas utama lembaga perwakilan yaitu membuat undang-undang. Semestinya wakil rakyat harus senantiasa membuat UU yang selalu berpihak terhadap rakyat, bukan berpihak pada uang dan kepentingan individu.
Dalam konteks ke-Indonesian, citra negatif dan nada pesimis terhadap kinerja wakil rakyat di negeri ini, adalah sebuah realitas menggelinding bagaikan snow ball (bola salju) di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Apatisme dan mosi tidak percaya ini, timbul akibat kerapkali sebuah harapan tak seindah kenyataan. Dalam artian, kemauan dan tuntutan rakyat sering kali terabaikan.
Wakil rakyat sejatinya memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi realitas sebaliknya kerapkali mengkhianati rakyat—mementingkan individu, keluarga dan kelompok (parpol). Padahal kehadiran para wakil rakyat, meminjam teori Mandat Bintan Saragih (1988), dimana individu duduk di parlemen karena mendapat mandat dari rakyat. Sebagai mandataris rakyat, DPR harus senantiasa membela dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Rapor Merah
Dalam pepatah tradisional kuno, gajah mati meninggalkan gading-harimau mati meninggalkan belang. DPR RI 2004-2009 mati (baca: berakhir) meninggalkan perilaku negatif dan setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan, hal ini sebut saja rapor merah. Menurut Hemat penulis rapor merah DPR RI periode 2004-2009. Pertama, kerapkali tidak hadir dalam sidang-sidang pengambilan keputusan.
Sebuah realitas mengapung ke permukaan dalam sebuah pemberitaan Koran Jakarta (Selasa, 15 September 2009) dengan judul “Sindrom yang Tak Pernah Sembuh”. Menarik benang merah intisari dari pemberitaan tersebut menggambarkan betapa minimnya kehadiran para anggota DPR dalam setiap sidang paripurna, realitas ini bukan rahasia umum.
Kursi kosong dalam gedung paripurna DPR menjadi bukti bisu bahwa sebahagian para wakil rakyat kerap lalai dalam menjalankan kewajiban. Padahal kehadiran dalam sidang-sidang, adalah sebuah keharusan dan kewajiban. Hal ini terkait dengan tingkat urgensitas dari setiap pembahasan-pembahasan, baik yang berkaitan dengan perancangan dan penetapan RUU ataupun rapat dengar pendapat atas progran-program kerja pemerintah. Ketidakhadiran dalam sidang dan rapat adalah cerminan pengkhianatan terhadap rakyat.
Kedua, mewariskan setumpuk RUU belum selesai di akhir masa jabatan. Dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2004-2009, DPR menargetkan pembuatan 284 UU dalam kurun waktu lima tahun. Tercatat di akhir masa tugas, hanya 74 RUU atau 26 persen disahkan menjadi UU. DPR juga terlihat inkonsistensi dalam merampungkan suatu UU, setidaknya terbukti dari 174 RUU tidak masuk prolegnas, tetapi masuk ke dalam rapat paripurna—dari 174 RUU nonprolegnas, 111 disahkan menjadi UU. 185 buah total RUU prolegnas dan nonprolegnas telah menjadi UU, sedangkan 273 buah RUU belum selesai digarap.
Ketiga, praktik korupsi melibatkan wakil rakyat. Dalam laporan Transparency International Indonesia (TII) 2009, DPR adalah institusi paling korup di Indonesia. Secara umum, skandal korupsi di DPR dalam bentuk praktik suap, pemberian izin alih fungsi hutan yang tidak semestinya, pemberian gratifikasi “uang pelicin” untuk memuluskan proses legislasi di parlemen.
Beberapa kasus mengapung ke permukaan memberikan noda hitam tersendiri bagi wakil rakyat secara keseluruhan, sebut saja kasus skandal suap melibatkan Al Amin Nasution (F-PPP) dan Sarjan Taher (F-Demokrat) terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan-Kepulauan Riau; kasus suap pengadaan kapal cepat di Departemen Perhubungan yang melibatkan Bulyan Royan (F-BR); atau kasus dana stimulus proyek pembangunan Indonesia Timur yang melibatkan Abdul Hadi Djamal (F-PAN); dan seterusnya.
Dalam hal ini, penulis berani berargumen bahwa rapor merah DPR hanya bisa di hitamkan dengan merealisasikan gagasan high politics (politik kelas tinggi) Amien Rias. Pertama, menganggap setiap jabatan politik merupakan amanah dari masyarakat, yang harus senantiasa dipelihara sebaik-baiknya. Kedua, setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban (mas’uliyah, accountability) di dunia maupun pada mahkamah hakiki (ukhrowi).
Konsep sederhana ini, lebih menuntun ke arah alam kesadaran akan sebuah kewajiban. Bila diaplikasikan dalam tataran realitas akan berdampak sangat besar. Rapor merah DPR RI 2004-2009, bisa menjadi pelajaran berharga bagi anggota DPR RI 2009-2014 terpilih agar memulihkan nama baik lembaga terhormat DPR dengan menggunakan wewenang sebaik-baiknya. Jangan sampai rapor merah DPR periode sebelumnya masih dipertahankan dan terus dipertahankan. Selamat bekerja!

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI--
Direktur Eksekuitif PDIYoG (Political Development of Indonesian’n the Young Generation)

Selasa, 20 Oktober 2009

Tiada Kawan dan Lawan Abadi

Tiada Kawan dan Lawan Abadi

Judul : Mengungkap Politik Kartel

Penulis : Kuskridho Ambardi

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan : Pertama, Agustus 2009

Tebal : xx + 404 Halaman

Harga : Rp. 60.000

Kebebasan mendirikan partai politik pasca reformasi, disambut dengan tumbuhnya ratusan parpol bak cendawan di musim penghujan. Sebagai bukti pada tahun 1999 terdaftar 181 parpol dan 48 parpol lulus verifikasi; tahun 2004 berdiri 237 parpol walaupun hanya 24 parpol memenuhi persyaratan ikutserta pemilu; dan tahun 2009 muncul 132 parpol dengan komposisi 38 parpol nasional plus 6 parpol lokal Aceh berhasil keluar sebagai peserta pemilu.

Realitas membuktikan bahwa dari sekian banyak parpol yang hadir di pentas politik Indonesia pasca reformasi, bila ditinjau dari platform, grand isu, dan ideologi (azas) hanya berkisar dalam dua kategori besar: Islam dan nasionalis. Uporia kebebasan yang dipertontonkan dengan berlomba-lomba mendirikan parpol, barangkali efek domino demokrasi semu dan keterpasungan selama Orde Baru.

Buku Mengungkap Politik Kartel hasil renungan serius Kuskridho Ambardi ini, memberikan semacam gambaran utuh bahwa kehadiran pelbagai macam parpol era reformasi di Indonesia, tidak serta merta membuat sistem kepartaian di Indonesia semakin kompetitif dan profesional. Malah sebaliknya, muncul sebuah gejala sistem kepartaian yang terkartelisasi.

Melalui kajian mendalam, Ambardi mengetengahkan bukti-bukti setidaknya ada lima ciri menunjukkan telah menggejala kartelisasi dalam sistem kepartaian di Indonesia. Pertama, hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; Kedua, sikap permisif dalam pembentukan koalisi; Ketiga, tiadanya oposisi atau oposisi absen; Keempat, hasil-hasil pemilu hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku parpol; Kelima, kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok.

Indikator diatas juga diperkuat dengan sebuah fenomena cukup unik, dimana pada masa kampanye partai-partai politik saling bersaing sengit. Namun begitu pemilu usai segala pertentangan seolah lenyap disapu angin dan berganti dengan kerjasama serta saling membangun jembatan silaturrahim. Koalisi-koalisi yang terbentuk pun menjadi aneh dan tidak bersifat ideologis.

Buku ini sangat relevan memotret deskriptif kartelisasi dan perilaku parpol di Indonesia pasca reformasi. Sangat sulit untuk menebak peta dan arah politik parpol di Indonesia, terkesan bermuara pada kepentingan dan kekuasaan. Sebagai sebuah ilustrasi, dimana perseteruan PDI-P versus Demokrat versus Golkar pada seputar pemilu 2009 terbuka lebar di ruang publik, tidak menutup kemungkinan akan berujung pada koalisi dalam pemerintah yang akan dilantik 20 Oktober 2009.

Melalui penelitian tentang sistem kepartaian yang berfokus pada interaksi antarpartai, dalam rentang interval waktu selama tiga tahun Kuskridho Ambardi bertapa menyelesaikan disertasi ini di Ohio State University. Adapun benang vital kesimpulan dari pembahasan buku pakar politik UGM ini adalah bahwa parpol-parpol Indonesia telah membentuk suatu sistem kepartaian yang terkartelisasi, meminjam terminologi populer dalam politik “tiada kawan dan lawan abadi.”

Peresensi adalah R. Andriadi Achmad

Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia

Senin, 19 Oktober 2009

Filoshopy Statement

Kobaran Api Semangat Gerakan Mahasiswa Tidak Akan Pernah Padam Selama Nilai-Nilai Kebenaran Masih Tetap Di Injak-Injak.
(R.Andriadi Achmad, 2004)

My Profile

R. Andriadi Achmad terlahir di Kota Baru-Bengkulu pada 19 September 1982 dari Ayah Achmad Tarmedi dan Ibunda Rahima dan ditemani tiga adinda tercinta Nining Krisdianti Achmad, Riza Susanti Achmad, Ridho Nurharis Achmad serta istri tercinta Hilma Silviani. Tamat sarjana dari Universitas Andalas, Padang (2008). Sekarang sedang studi pada Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia (2009)...sewaktu mahasiswa aktif di Kegiataan kemahasiswaan: Ketua Litbang BEM KM Universitas Andalas (2006-2007); Presidium Pusat/Koordinator Wilayah Sumatera ILMIBSI (Ikatan Lembaga Ilmu Budaya dan Sastra Se-Indonesia) 2006-2007; Ketua Umum HIMPERAB (Himpunan Mahasiswa Pemuda Rafflesia Bengkulu)-SumBar 2005-2007; Presidium Pusat MAHAGANA (Mahasiswa Siaga Bencana) Se-Indonesia (2007-2008); dan Direktur Eksekutif PDYoG (Political Developmen of Indonesian's the Young Generation). Telah menulis ratusan tulisan (artikel, resensi buku, puisi, cerita anak, dll) tersebar dipelbagai media massa lokal dan nasional serta telah menerbitkan sebuah buku "Mahasiswa Hanya Bisa Demo!"