Senin, 15 November 2010

Menimbang Pilkada Langsung

Oleh: Andriadi Achmad


Sepanjang tahun 2010 tercatat sekitar 246 daerah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung, antaralain terdiri dari 7 (tujuh) provinsi dan 239 kabupaten/kota. Pilkada langsung merupakan implikasi turunan dari kebijakan penerapan desentralisasi atau otonomi daerah, secara yuridis sebagaimana tertuang dalam pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat daerah bersangkutan.
Kehadiran pilkada langsung sejak tahun 2005, pada awalnya memberi angin segar bagi masyarakat daerah untuk memilih kepala daerah sesuai selera atau kehendak rakyat daerah—sebelumnya dipilih DPRD terkesan bahwa kepala daerah pesanan pusat atau kehendak perwakilan parpol. Walaupun secara realitas kepala daerah pilihan rakyat belum tentu lebih baik ketimbang pilihan DPRD.
Dalam sebuah buku berjudul Pilkada dan Dinamika Politik Lokal (2009), Leo Agustino menjelaskan beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari demokratisasi nasional di tingkat lokal (pilkada langsung. Pertama, aktor-aktor politik di daerah, baik perorangan maupun kelompok, dapat menjadi pejuang demokrasi manakala orientasi perjuangannya berdasar kepentingan mayoritas warga.
Kedua, pilkada langsung merupakan salah satu cara yang dapat digunakan masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan akuntabel, responsif, dan tentunya demokratis di daerah. Ketiga, pilkada langsung merupakan cara relatif baik digunakan dalam memberikan pelajaran politik bagi warga masyarakat di daerah. Keempat, melalui pembelajaran demokratisasi yang terjadi di banyak negara dan di tingkat nasional, masyarakat daerah dapat memanfaatkan pilkada langsung sebagai alat deteksi arah demokrasi yang sedang diperjuangkan.
Dalam perspektif penulis, pelaksanaan pilkada langsung sejak tahun 2005 setidaknya telah membawa beberapa dampak negatif. Pertama, pemborosan dana baik anggaran pemerintah maupun dana dari kandidat calon kepala daerah. Pengeluaran dana dimulai dari pembelian perahu politik (partai politik) pengusung kandidat, dana logistik kandidat (poster, kaos, atribut, dana bantuan, dan sejenisnya), sampai praktik serangan fajar dalam bentuk pembagian uang dengan imbalan suara dan dana persiapan membeli suara di KPUD serta dana memenangkan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Realitas ini jauh dari kesan pesta rakyat demokratis dan penuh warna money politics.
Suatu fenomena menarik mengapung ke permukaan, adalah sebanyak 17 kepala daerah tingkat satu (Gubernur) dari 33 provinsi dan sekitar 50 persen dari kepala daerah tingkat dua (Bupati/Walikota) hasil pilkada langsung dalam kurun waktu antara 2005-2010 terjerat kasus korupsi. Salah satu indikasi kuat penyebab korupsi kepala daerah adalah akibat dari pengeluaran ongkos pilkada langsung relatif sangat mahal.
Kemungkinan dalam perhelatan pilkada langsung calon kepala daerah didonasi para pemodal, dengan konsekuensi akan mendapat imbalan jika terpilih. Bisa saja imbalan tersebut dalam bentuk perizinan membuka ladang bisnis atau diberikan tender-tender proyek di daerah. kemudian kepala daerah terpilih dijadikan boneka oleh para pemodal tersebut, sehingga tercipta shadow government (pemerintah bayangan) dan kepala daerah terpilih dijadikan tumbal kebijakan, pada akhirnya terjerat kasus korupsi.
Kedua, rentan terjadi konflik horizontal antar pendukung kandidat kepala daerah. Secara realitas, perhelatan pilkada langsung rentan menyulut konflik antar pendukung kepala daerah. Beberapa kasus konflik terjadi seperti pada pilkada Maluku Utara; Sumatera Utara; Sumatera Selatan; dan seterusnya. Konflik tersebut sudah barang tentu menimbulkan kerugian jiwa maupun fisik serta mengganggu ketertiban umum.
Penghapusan Pilkada Langsung Gubernur
Beberapa waktu lalu Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi melemparkan wacana penghapusan pilkada langsung Gubernur. Penulis menangkap gagasan tersebut muncul disebabkan beberapa faktor. Pertama, upaya penghematan dana. Jelas penghapusan pilkada langsung gubernur akan menghemat dana relatif besar.
Kedua, pertimbangan posisi Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Sebagai pejabat mewakili pemerintah pusat, sejatinya gubernur tidak dipilih dalam pilkada langsung, namun diangkat oleh presiden. Sementara pilkada langsung Bupati/Walikota tetap dipertahankan, mengingat ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah sesungguhnya berada di kabupaten/kota.
Ketiga, upaya pemerintah untuk menguatkan posisi dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam penguatan peran ini, gubernur akan diberikan kewenangan sebagai controller yang mengawasi dan membina Bupati atau walikota dalam penyelenggaraan otonomi daerah sekaligus pengaturan anggaran oleh gubernur terhadap para bupati dan walikota. Kalau tidak ada kontrol, seperti terjadi saat ini dimana para bupati dan walikota seperti raja-raja kecil ada di daerah.
Keempat, Pilkada langsung gubernur mengakibatkan hirarki pemerintahan tidak jelas karena sistem pemerintahan Indonesia terdiri atas tiga lapisan yakni pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tiga lapisan pemerintahan itu, menyulitkan pelaksanaan berbagai program pemerintah pusat karena setiap kepala daerah merasa dipilih secara langsung oleh rakyat setempat. Efektifnya hanya ada dua lapisan hirarki pemerintahan yaitu pusat dan daerah.
Terlepas dari kontroversi rezim Orde Baru (ORBA), yaitu sentralisasi, non-demokratis dan otoritarianisme Soeharto. Tidak bisa dinapikkan bahwa struktur pemerintahan daerah masa ORBA cukup efektif, efisien, cenderung tidak menimbulkan gejolak. Masa ORBA, kepala daerah tingkat satu dipilih berasal dari militer minimal berpangkat Kolonel/Brigadir Jenderal atau berasal dari birokrat dengan golongan minimal 3B. Sehingga para pemimpin yang diangkat memiliki pengalaman dan telah teruji dalam rentang waktu relatif panjang.
Euporia politik mewabah Indonesia pasca reformasi cenderung menggiring terompet perubahan menjadi tak terkendali. Pelbagai terobosan tanpa konsep jelas diterapkan dalam rangka mencari format utuh demokrasi, sebagai salah satu contoh adalah penyelenggaraan pilkada langsung sejak tahun 2005.
Oleh karena itu, seiring perjalanan transisi demokrasi terus menggelinding bagaikan snow ball (bola salju) menuju titik konsolidasi demokrasi di negeri kita. Tak ada salahnya, bangsa kita belajar dari format dan struktur pemerintahan daerah di masa Orde Baru, tentunya tanpa mengabaikan semangat penerapan desentralisasi dan otonomi daerah tengah berlangsung.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar