Rabu, 04 November 2009

Gerakan Mahasiswa, Awasi KIB Jilid II

Terdeteksi dari 34 menteri KIB Jilid II terisi sekitar 18 personil merupakan utusan dari partai politik dengan komposisi 5 dari Demokrat (EE Mangindaan, Jero Wacik, Andi A. Malarangeng, Darwin Saleh, Syarifuddin Hasan), 4 dari PKS (Tifatul Sembiring, Salim Segaf Al-Jufri, Suharna Supranata, Suswono); 3 dari Golkar (Agung Laksono, MS. Hidayat, Fadel Muhammad), 2 dari PAN (Patrialis Akbar, Zulkifli Hasan), 2 dari PPP (Suryadharma Ali, Suharso Monoarfa), dan 2 dari PKB (Muhaimin Iskandar, A. Helmy Faisal Zaini).
Koalisi dan politik balas budi sangat kental terlihat dalam KIB Jilid II. Sebagaimana realitas membahasakan bahwa 50 persen lebih anggota KIB diwarnai utusan koalisi parpol pendukung SBY-Boediono. Kekhawatiran banyak kalangan bahwa koalisi yang dibangun di atas balas jasa cenderung abai terhadap profesionalitas dan loyalitas.
Transisi demokrasi tengah berlangsung di negeri kita, sudah barang tentu berujung pada dua kemungkinan: konsolidasi atau kembali otoriter. Dukungan fantastis terhadap Partai Demokrat pada pileg 9 April 2009 (20,85 persen) dan kemenangan telak satu putaran SBY-Boediono (60.08 persen) pada pilpres 8 Juli 2009. Sejatinya sebagai salah satu sinyalemen bahwa pemerintahan SBY-Bodiono cukup kuat. Ditambah lagi dukungan politik di parlemen (PD, PKS, PPP, PKB, PAN, Golkar) terhadap SBY-Boediono sekitar 75,5 persen atau 423 kursi.
Dalam konteks kekinian, melemahnya peran oposisi di parlemen (parpol)—PDI-P; Gerindra; dan Hanura (24,5 persen)—dan menguatnya posisi penguasa, kecenderungan untuk otoriter terbuka lebar. Karena itu dibutuhkan gerakan penyeimbang lain, salah satunya gebrakan perlemen jalanan—gerakan mahasiswa—yang masih terbebas dari vested interest terhadap kepentingan.
Menurut hemat penulis, ada dua peran yang perlu dimainkan gerakan mahasiswa dalam menyikapi kabinet koalisi jilid II ini. Pertama, meneguhkan kembali fungsi sebagai agent of control. Secara realitas dalam sistem presidensial mengambil posisi sebagai oposisi tidak mempunyai tempat, kita bisa lihat hal ini dalam parlemen kita. Karena itu, gerakan mahasiswa bisa menjadi oposisi loyalis—mendukung program dan kebijakan pro-rakyat serta mengkritisi kebijakan-kebijakan anti-rakyat.
Kedua, merumuskan dan mengusulkan program kerja versi mahasiswa kepada pemerintahan SBY. Sebagai elemen intelektual kampus, gerakan mahasiswa tentunya bisa merumuskan dan mengusulkan pelbagai program kerja—pro-rakyat—kepada pemerintah untuk lima tahun ke depan. Adalah suatu keniscayaan dikaji secara mendalam terlebih dahulu dengan melibatkan guru besar-guru besar (pakar dan profesor) kampus berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing.
Gerakan ini akan lebih memperlihatkan bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan intelektual. Turun ke jalan adalah alternatif terakhir bagi gerakan mahasiswa, teriakan-teriakan bernas dan ganas di lapangan tanpa di ejawantahkan dalam bentuk draft-draft akan sia-sia dan cenderung akan menghilang begitu saja. Tak ada jalan lain bagi gerakan mahasiswa untuk kembali menancapkan taring di hadapan penguasa, adalah melalui kegiatan-kegiatan bernuansa intelektual seperti merumuskan dan mengusulkan program-program kerja yang menyentuh rakyat.
Kedua poin utama diatas setidaknya bisa menjadi masukan bagi gerakan mahasiswa se-Indonesia untuk semakin meneguhkan paltform Gerakan Intelektual Mahasiswa (Intellectual Movement Student) yang pernah dicetuskan dalam deklarasi Padang tahun 2006. Kehadiran gerakan mahasiswa dalam konteks kekinian sangat urgen dalam mengawasi kinerja KIB Jilid II, ayo kita awasi...!

R. Andriadi Achmad
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Mantan Aktivis BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia)