Senin, 13 Desember 2010

Mempersoalkan Konfederasi Parpol

Oleh: Andriadi Achmad


Menjelang pengesahan Undang Undang pemilu, khususnya mengenai kenaikan Parliamantary Threshold (PT) dari 2,5 persen bergeser menjadi 5 persen. Secara realitas kita dapat membaca bahwa mulai menghangat menjadi perbincangan ke permukaan adalah wacana penerapan konfederasi parpol sebagai salah satu alternatif menjadi tawaran untuk mengantisipasi hal tersebut.

Setidaknya, beberapa waktu lalu terdapat sekitar 17 parpol seserta pemilu 2009 tidak lolos parliamentary threshold mulai menyusun kekuatan guna menghadapi Pemilu 2014 dengan melebur dalam Forum Persatuan Nasional (FPN), seperti PBB, PDS, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, PPD, Partai Patriot, PNBK, PPI, PMB, Partai Pelopor, PKDI, PIS, PPIB, dan PDI.

Begitu juga Partai Gerindra terus memperkuat jaringan menuju pemilu dan Pilpres 2014, sebagai permulaan Gerindra membangun komunikasi dan berencana membangun nota kesepakatan konfederasi dengan enam parpol seperti Partai Buruh, Partai Merdeka, PPNUI, PNI Marhaenisme, Partai Kedaulatan dan Persi. Tak ketinggalan, PAN sebagai penggagas konfederasi mulai membangun komunikasi politik dengan beberapa parpol non-parlemen, setidaknya dibuktikan pertemuan pimpinan PAN dengan tujuh parpol non-parlemen seperti PDP, PPD, PNBK, Partai Pelopor, PMB, PIB, PNDI. Sementara partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, PDIP dan partai-partai menengah yaitu PKS, PPP, PKB, Hanura, secara realitas terlihat belum menanggapi wacana tersebut.

Konfederasi parpol di tengah dinamika dan konfigurasi politik di Indonesia, pada satu sisi memiliki kelebihan dalam hal daya ikat permanen tanpa harus meleburkan identitas multi partai politik yang berkonfederasi. Namun di sisi lain dalam prakteknya, konfederasi parpol mempunyai kelemahan yaitu tak mudah menyatukan perbedaan Platform dan ideologi partai politik.

Menurut peneliti senior LIPI, Ikrar Nusa Bhakti bahwa pembentukan konfederasi bukan sesuatu hal mudah untuk dilakukan. Setidaknya ada beberapa alasan untuk mendukung kesimpulan tersebut. Pertama, dalam sejarah politik Indonesia, perpecahan partai lebih menonjol ketimbang pembentukan konfederasi. Kedua, konfederasi politik biasanya terjadi akibat politik paksaan dari penguasa ketimbang atas dasar keinginan sendiri. Ketiga, konfederasi partai politik lebih didasari oleh kepentingan politik elite ketimbang kepentingan massa pendukung.

Dari sekian banyak parpol peserta pemilu di Indonesia pasca reformasi. Secara umum hanya ada dua ideologi besar diadopsi parpol di Indonesia yaitu religious dan nasionalisme atau marhaenisme. Walaupun demikian, tetap saja menjadi pekerjaan rumit untuk menyatukan parpol berideologi sama. Sebagai contoh, pada pemilu tahun 1999 terdapat Golkar-PKPI-PKPB atau PPP-PK-PBB-PUI atau PDIP-PDI dan sejenisnya.

Begitu juga pada pemilu 2004, seperti antara PKS-PBB-PBR-PBB-PNUI-PKB atau Partai Demokrat-Golkar-PKPI-PKPB atau PDIP-Partai Pelopor-PNBK dan seterusnya. Tak ubahnya pada pemilu 2009, antara Partai Demokrat-Golkar-Hanura-PKPB-PKPI-Gerindra atau PDIP-PDP-PNBK-Partai Pelopor-PNI Marhaenisme atau PKS-PPP-PBB-PBR-PPNUI-PKNU dan sejenisnya. Dari realitas tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa parpol berideologi sama tetap sulit untuk disatukan.

Penyederhanaan dan Konfederasi Parpol

Belakangan kerapkali menghangat adalah isu penyederhanaan parpol. Salah satu cara penyederhanaan partai secara alamiah dengan menaikkan PT 5 persen. Sebenarnya dari sudut efisiensi dan efektifitas, penyederhanaan partai menjadi hal sangat urgen dan mendesak. Mengingat pembiayaan multi parpol dalam pelaksanaan pemilu jelas sangat boros dan tentunya menghamburkan uang rakyat.

Walaupun dari sudut hak kebebasan, penyederhanaan parpol sebagai upaya membatasi hak individu untuk berekspresi secara politik. Adapun jalan tengah untuk dua sudut pandang diatas, adalah dengan pembentukan konfederasi bagi partai politik yang tidak lolos PT. Karena ide alternatif tersebut sangat mengakomodasi tuntutan akan penyederhanaan partai dan tuntutan mengenai perlunya penghargaan terhadap kebebasan rakyat untuk berekspresi politik.

Sejatinya hal lebih penting disadari bersama adalah bagaimana mengelola partai politik secara profesional dan bertanggungjawab. Partai Politik yang didirikan hanya untuk mengikuti trend dan nafsu politik atas nama kebebasan berakibat pada kurangnya suara dukungan dan simpati rakyat. Partai-partai semacam ini memang layak untuk dibubarkan dan tidak perlu dipertahankan melalui pembentukan konfederasi.

Belajar dari pemilu 2009 lalu, penerapan PT 2,5 persen menyebabkan sekitar 16 juta suara hilang sia-sia. Bahkan ada beberapa partai politik yang memiliki basis massa yang bagus tetapi tidak ada wakil di parlemen. Sebagai contoh adalah caleg PBB Yusron Ihza Mahendra dari daerah pemilihan Bangka Belitung dan Ali Mochtar Ngabalin dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan 3 mendapat kursi di DPR, tetapi batal duduk di senayan lantaran PBB (1,79 persen) tidak lolos PT 2,5 persen.

Kedua contoh kegagalan caleg DPR RI dari PBB diatas, sebenarnya tidak mencerminkan bahwa esensi demokrasi adalah partisipasi masyarakat. Untuk mengantisipasi hal tersebut, dengan konfederasi parpol calon anggota DPR yang memenuhi jumlah suara tetap bisa duduk di parlemen, meski perolehan partainya tidak lolos PT. Di samping mencegah suara yang hilang, konfederasi akan membentuk suatu koalisi yang kuat dan solid dalam mendukung sistem pemerintahan presidensial.

Lebih jauh, konfederasi parpol harus benar-benar dimengerti oleh pemilih. Perlu dihindari suatu kesepakatan sesudah pemilu. Kalau bisa terbentuk konfederasi secara penuh, ada dua alternatif cara pendaftaran calon legislatif yaitu dengan bernaung dalan satu konfederasi atau bisa juga dipilih tetap dalam partainya masing-masing. Namun harus digabungkan pada saat terutama pada penghitungan suara yang kedua.
Selain itu, perlu menjadi catatan penting adalah penerapan konfederasi parpol sejatinya harus diatur dalam UU secara legal formal seperti UU tentang partai politik dan UU tentang pemilu. Bila hanya terjalin diatas suatu kesepakatan, dikhawatirkan tidak adanya suatu kekuataan mengikat dalam konfederasi antar parpol tersebut dan bisa saja hasilnya tidak memuaskan.

Kemunculan ide konfederasi parpol sudah sewajarnya di era demokrasi saat ini. Tetapi perlu menjadi catatan khusus, apakah konfederasi parpol akan membawa manfaat dan kesejahteraan bagi rakyat atau justru hanya sekedar untuk menjaga eksistensi elit parpol dipanggung politik? Kecepatan perubahan politik dinegeri kita sulit untuk diukur, sehingga hanya waktu akan menjawab semua itu.

Penulis adalah Mahasiswa Konsentarsi Studi Parpol, Pemilu, dan Parlemen Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

(tulisan ini, di publish Sabtu 20 November 2010 di Koran Seputar Indonesia)

Perlukah Kader Parpol di KPU?

Oleh: Andriadi Achmad



Polemik keterwakilan parpol di Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi menu pembuka rapat komisi II DPR RI. Dimana dalam pembahasan draf rencana revisi UU no 22 tahun 2007 tentang penyelenggaran pemilu, melahirkan perdebatan antara dua kubu berseberangan menyikapi perlu atau tidak perwakilan parpol di KPU. Perbedaan pandangan kedua kubu tersebut, masing-masing mempunyai alasan kuat.

Kubu pertama dimotori F-Demokrat dan F-PAN, tidak menghendaki perwakilan parpol di KPU. Kubu pertama beralasan bahwa keterlibatan parpol dikhawatirkan dapat merusak independensi, profesionalitas dan netralitas KPU sebagai penyelenggara pemilu. Tidak selayaknya sebagai peserta pemilu, parpol juga menjadi wasit di KPU. Besar kemungkinan dengan adanya perwakilan parpol di KPU, akan ada pihak dirugikan dan tidak terakomodir.

Sedangkan kubu kedua menghendaki keterwakilan parpol di KPU (F-Golkar, F-PKS, F-PPP, F-PKB, F-Gerindra, F-Hanura). Kubu kedua beralasan bahwa pemilu merupakan pesta rakyat dimana parpol sebagai pemain utama, karena itu perwakilan parpol di KPU penting. Anggota KPU berasal dari parpol diyakini dapat menjaga transparansi kerja KPU dan lebih memahami dinamika parpol di ajang pemilu.

Dalam tulisan Independensi KPU Dalam Ancaman (Kompas, 26/11/2010), Bawono Kumoro memaparkan bahwa parpol telah melakukan sejumlah manuver agar mampu keluar sebagai pemenang pada pemilu. Salah satunya, dengan menyusupkan kepentingan politik mereka pada revisi UU paket politik, terutama UU tentang penyelenggaraan pemilu. ,Beberapa parpol bersikeras meloloskan peraturan yang membolehkan orang parpol duduk di jajaran komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Dalam pandangan penulis, ada atau tidak perwakilan parpol di KPU. Tetap saja netralitas dan independensi KPU sulit untuk dijamin dalam menyelenggarakan pemilu bersih, jujur, dan adil. Dimana bisa menjadi alasan kuat adalah, praktik money politic dalam berbagai motif seperti dalam traksaksi jual beli suara atau penggelembungan suara serta adanya intervensi pemerintah berkuasa. Selama ini, banyak rumor beredar bahwa KPU cenderung berkiblat menuju partai pemerintah.
Contoh kasus perekrutan komisioner Andi Nurpati menjadi fungsionaris Partai Demokrat, menimbulkan rumor ke permukaan bahwa Andi Nurpati telah membantu mensukseskan Partai Demokrat dan SBY sebagai pemenang pemilu dan pilpres 2009, padahal Andi Nurpati berasal dari non-parpol. Walaupun kasus ini tidak bisa mewakili alasan bahwa anggota KPU cenderung sulit untuk menjaga independensi dan netralitas.
Tetapi setidaknya bisa menjadi gambaran awal, berlatar belakang non-parpol atau kader parpol menjadi anggota KPU, tetap saja netralitas KPU sulit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, wajar saja menimbulkan keinginan beberapa parpol untuk melibatkan kader parpol di KPU. Mengingat posisi KPU sangat strategis dan mempunyai peran vital dalam menyukseskan penyelenggaraan pemilu.

Lebih jauh, penulis berargumen bahwa di satu sisi tidak salah keinginan parpol menginginkan adanya perwakilan di KPU. Tetapi di sisi lain tidak perlu keterlibatan parpol sebagai anggota KPU demi menjaga independensi KPU sebagai pelaksana pemilu. Sejatinya anggota KPU terbebas dari kepentingan partai politik tertentu. Walaupun anggota KPU tersebut, mantan kader parpol dan berhenti dari keanggotaan parpol setelah terpilih menjadi anggota KPU.

Di samping itu, menjadi pekerjaan berat bagi anggota parpol menjadi anggota KPU adalah harus mampu meyakinkan publik bahwa keberadaannya tidak akan membawa kepentingan partai dimana komisioner tesebut berasal. Bukan rahasia umum kerap kali anggota KPU berasal dari non parpol pun mengakhiri karirnya di parpol tertentu. Hal ini menjadi perseden buruk anggota KPU yang berasal dari parpol.

Berkaca dari pemilu 1999, keterlibatan parpol di lembaga penyelenggara pemilu disinyalir cukup sukses dan demokratis. Berbeda dengan pemilu 2004 dan 2009, di mana cukup banyak pelanggaran terjadi. Sehingga menimbulkan asumsi bahwa KPU berasal dari profesional justru tidak independen, bahkan pelaksanaan pemilu 2009 di indikasi terdapat ketimpangan, karena KPU tidak independen dan kurang memahami posisi serta peran parpol sebagaimisal parpol tidak boleh tahu masalah IT dan proses perhitungannya.

Sehingga realitas ini menimbulkan, anggapan bahwa keanggotaan KPU berasal dari kalangan profesional dan isu anggota KPU sisipan parpol tertentu. Dalam artian tidak ada jaminan KPU berlatar belakang profesional atau non-parpol bisa menjaga independensi dan netralitas dalam menyelenggarakan pemilu.
Revisi UU Penyelenggaran Pemilu

Setelah melalui perdebatan sengit antara kubu menolak dan menerima keterwakilan parpol di komisi II DPR RI, dengan mekanisme voting minus F-Demokrat yang memutuskan walk out. Dalam voting tersebut, tujuh fraksi yakni F-Golkar, F-PDIP, F-PKS, F-PPP, F-PKB sepakat dengan isi draf rencana revisi tersebut, hanya F-PAN menolak usulan draf tersebut.

Adapun revisi UU nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tersebut, komisi II DPR RI pada akhirnya menyepakati lima usulan. Pertama, memperketat mekanisme seleksi dan memperberat sanksi. Sebelumnya sanksi hanya bersifat perdata dengan mengembalikan gaji selama menjadi penyelenggara pemilu, tapi usulan terbaru dimana sanksi juga bersifat pidana.

Kedua, keanggotaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berjumlah tujuh orang dan bisa diterima anggota KPU berlatar belakang parpol, tetapi dengan catatan yang bersangkutan mengundurkan diri begitu mendaftar sebagai calon anggota dan pencalonannya harus atas inisiatif pribadi, bukan sebagai perwakilan partai.
Ketiga, dalam rentang lima tahun pasca tugas di KPU, anggota KPU tidak boleh bekerja di jabatan politik maupun pemerintahan, termasuk Badan Usaha Milik Negara. Tetapi dengan kompensasi pemerintah akan memberi tunjangan kepada mantan anggota KPU tersebut baik anggota di pusat, provinsi, dan kota/kabupaten.

Keempat, keanggotaan Dewan Kehormatan (DK) KPU boleh berasal dari perwakilan parpol, khususnya parpol yang lolos parliamentary threshold dengan komposisi sembilan anggota dari parpol, satu anggota dari KPU, satu dari Bawaslu, dan tiga dari tokoh masyarakat dengan total keanggotaan 15 orang.

Terlepas dari polemik diatas, sebenarnya bagi rakyat Indonesia bahwa keterlibatan parpol atau tidak di KPU bukan perkara penting. Paling pokok adalah bagaimana pemilu bisa berjalan dengan lancar dan melahirkan pemimpin yang berpihak pada rakyat. Tuntutan kesejahteraan, peluang kerja terbuka lebar, menjaga martabat dan kedaulatan bangsa merupakan hal paling urgen dan mendesak.

Penulis adalah Mahasiswa Konsentarsi Studi Parpol, Pemilu, dan Parlemen Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Senin, 15 November 2010

Parliamatary Threshold

Oleh: Andriadi Achmad


Dalam tulisan “Penyederhanaan Parpol” (koran Jakarta, Kamis 29/07/2010), Gun Gun Heryanto menguraikan kelebihan dan kelemahan tiga tawaran wacana berkembang belakangan dalam rangka penyederhanaan parpol. Pertama, melalui konfederasi. Konfederasi memiliki kelebihan dalam hal daya ikat permanen tanpa harus meleburkan identitas partai-partai yang berkonfederasi. Kelemahannya, konfederasi tak mudah dipraktikkan dalam konfigurasi politik di Indonesia. Sangat sulit menyatukan partai-partai berbeda karena alasan kesamaan platform atau ideologi partai.

Kedua, fusi. Dimana, partai-partai melebur ke dalam wadah sekaligus identitas baru. Seperti pernah kita alami pada masa Orde Baru, melalui ketetapan UU No 3/1975 dari 10 parpol menjadi tiga, yaitu PPP, PDI Golkar. Kelebihan fusi, polarisasi kekuatan politik akan semakin jelas dan membuat sistem politik semakin stabil. Kekurangannya, peleburan partai akan mengundang resistensi karena terkesan bukan mekanisme penyederhanaan alamiah, tapi dipaksakan rezim berkuasa. Fusi cenderung menimbulkan penyelewengan kekuasaan melalui korporatisme dan kartelisasi politik.

Ketiga, asimilasi. Penerapan asimilasi menekankan pada pembauran kekuatan politik. Kelebihan ide dasarnya adalah pada pembauran akar rumput politik untuk membangun kesepahaman secara alamiah. Cara-cara kultural menjadi ciri dominan kerja sama politik dibanding pendekatan legal-formalistik. Tentu kekurangannya adalah proses membangun konsensus akan sangat cair.

Berdasarakan catatan diatas, wacana konfederasi, fusi, ataupun asimilasi penulis menangkap bahwa ketiga mekanisme diatas tidak efektif dalam upaya penyedehanaan parpol karena melekat kelemahan-kelemahan dan persyaratan cukup sulit untuk di sepakati. Penulis sependapat bahwa peningkatan PT adalah salah satu solusi ideal dalam penyederhanaan parpol.

Lebih jauh, penyedehanaan parpol melalui PT akan membawa implikasi pada beberapa hal. Pertama, menyebabkan suara pemilih akan terbuang sia-sia. Berdasarkan data bahwa penerapan PT 2,5 persen pada pemilu 2009 menyebabkan sekitar 18 juta suara terbuang. Bila diberlakukan PT 5 persen, bisa jadi sekitar 36 juta suara akan hilang pada pemilu 2014. Gagasan Akbar tanjung, bisa menjadi jalan tengah agar anggota DPR terpilih memenuhi bilangan pembagi walaupun partainya tidak lolos PT, adalah tetap menjadi anggota DPR dan bergabung dengan partai yang lolos ke parlemen.

Kedua, PT 5 persen akan menghilangkan partai-partai kecil. Penerapan PT 5 persen beberapa parpol akan berpeluang tersingkir dari senayan pada pemilu 2014, seperti PPP, PKB, Gerindra dan Hanura. Menengok pangsa pasar PPP dan PKB adalah pemilih berbasis masa Islam tradisional (NU), secara realitas PPP dan PKB berdasarkan hasil perolehan suara pemilu 2009 merosot tajam.

PPP pada pemilu 2004 menempati posisi kelima dengan perolehan suara 9,15 persen, sedangkan pada pemilu 2009 mengalami penurun menuju posisi enam dengan perolehan suara sekitar 5, 32 persen. Begitu juga PKB mengalami mengalami penurunan secara signifikan, dimana pada pemilu 2004 PKB meraih 10,61 persen dan menempati urutan ketiga, sedangkan pada pemilu 2009 mengalami penurunan signifikan menuju posisi ketujuh dengan perolehan suara 4,94 persen. Berkaca dari realitas ini, peluang PPP dan PKB untuk tersingkir dari senayan pada pemilu 2014 terbuka lebar.

Begitu juga keberadaan Gerindra dan Hanura, sebagai pendatang baru kedua partai tersebut pada pemilu 2009 cukup diperhitungkan dengan masing-masing menempati posisi kedelapan dan kesembilan serta lulus PT 2, 5 persen. Tetapi, bila dalam rentang waktu sampai pemilu 2014 kedua parpol tersebut tidak memperlihat kinerja dan bahkan cenderung menoton, tidak menutup kemungkinan pada pemilu 2014 Gerindra dan Hanura akan hilang di telan bumi.

Ketiga, PT 5 persen membuka kemungkinan terjadi oligarki dan kartelisasi. Bila semakin sedikit partai yang lolos ke parlemen, bisa menyebabkan terbuka lebar peluang hubungan tidak sehat antar parlemen dan pemerintah. Bahkan checks and balances antara parlemen dengan eksekutif (presiden) menjadi terganggu.
Gagasan peningkatan PT 5 persen dihembuskan Fraksi Partai Golkar sempat menjadi isu terhangat belakangan ini. Ide pembatasan jumlah partai politik agar bisa mendorong proses demokrasi yang kuat dan semakin mengokohkan sistem presidensial dalam pemerintahan kita. Meminjam istilah Scott Mainwaring, bahwa sistem presidensial dengan multi parpol akan membentuk “kombinasi yang sulit”.

Sebagaimana terjadi di Indonesia, dimana kekuatan eksekutif tidak dibarengi dengan kekuatan di legislatif. Lantaran multiparpol tidak melahirkan parpol dominan di parlemen, sehingga terbangun koalisi antar parpol. Dalam praktik, koalisi cenderung menimbulkan dualisme keberpihakan. Di satu sisi berkoalisi dalam kekuasaan eksekutif dan berseberangan di lembaga legislatif.

Namun di sisi lain, dengan penerapan PT 5 persen cukup efektif dalam membatasi jumlah parpol di parlemen. Belajar dari pengalaman pemilu legislatif 2009 dengan penerapan PT 2,5 persen, dari 38 parpol peserta pemilu hanya meloloskan sembilan parpol ke parlemen, antaralain: Demokrat (20,85 persen); Golkar (14,45 persen); PDIP (14,03 persen); PKS (7,88 persen); PAN (6,01 persen); PPP (5,32 persen); PKB (4,94 persen); Gerindra (4,46 persen); dan Hanura (3,77 persen).

Dalam konteks kekinian, melihat sistem presidensial di Indonesia, penyederhanaan jumlah parpol menjadi agenda penting. Dalam kajian Hanta Yuda AR dalam buku Presidensialisme Setengah Hati (2010), bahwa sistem multi parpol yang terdapat di Indonesia merupakan sebuah gambaran penerapan sistem presidensial belum diterapak sepenuhnya—semi presidensial.

Secara ideal sistem presidensial semestinya hanya terdapat dua- tiga parpol atau multiparpol sederhana. Multiparpol lebih tepat di terapkan pada negara yang menganut sistem parlementer. Oleh karena itu, harus segara ditetapkan batas minimal 2,5 persen menjadi 5 persen.

Bisa jadi dengan penerapan PT 5 persen akan lebih mengurangi jumlah parpol lolos ke parlemen. Dalam konteks ini, penyederhanaan parpol bukan berarti mengebiri kebebasan warga negara untuk berserikat seperti yang telah di atur dalam pasal 28 ayat 1 UUD 1945 bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Penyederhanaan jumlah parpol untuk mendorong terciptanya mekanisme iklim demokratisasi kondusif. Secara sepintas kita cermati bahwa berdirinya multi parpol, sebahagian didirikan dan dikomandoi mantan fungsionaris parpol tertentu yang telah mengundurkan diri—kelompok yang merasa tidak terakomodir kepentingannya. Penulis membahasakan suatu sikap arogansi kebebasan dalam berpolitik, bila terjerembab dalam kebebasan “kebablasan” bisa membahayakan transisi demokrasi dan semakin menyuburkan pragmatisme di tubuh partai politik.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
(Tulisan ini pernah di Muat di Koran Jakarta, 5 Agustus 2010)

Oposisi Macan Ompong

Oleh: Andriadi Achmad


Kritikan tajam Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidato pembukaan Rakernas PDIP (Rabu, 4/08) terhadap kinerja pemerintah SBY, dimana Megawati melontarkan kritikan pada beberapa kebijakan pemerintah SBY dinilai kacau balau dan masih memprihatinkan dalam kehidupan berbangsa, antaralain: persoalan kelalaian dan kegagalan pemerintah dalam mensosialisasikan dan menangani ledakan gas “bom’ elpiji 3 kg; sikap pemerintah gampang mengeluh; soal kebijakan penggunaan senjata api Sat Pol PP seharusnya tidak perlu menjadi wacana; harga sembako melambung tinggi; dan menentang pembangunan rumah aspirasi.

Secara realitas pelbagai kritikan tersebut, dimana Megawati menegaskan dan semakin mengukuhkan keberadaan PDIP sebagai partai oposisi. Menarik dalam hal ini, adalah konsistensi PDIP mengambil jalan sebagai partai oposisi sejati, suatu sikap barangkali kurang lazim dalam kehidupan sistem pemerintahan presidensialisme seperti di Indonesia, dimana peranan oposisi tidak terlalu signifikan.

Berbeda pada sistem parlementer, kehadiran oposisi sangat mempengaruhi roda pemerintahan berkuasa. Sebagaimisal kesalahan dalam mengeluarkan kebijakan bisa menjungkir balikkan pemerintahan berkuasa, sehingga dalam sistem parlementer jatuh bangun pemerintahan sudah hal lumrah. Berbeda hal dengan sistem presidensialisme, menjatuhkan pemerintah bisa dikatakan sesuatu kemungkinan sulit.

Dalam bahasa penulis, keberadaan oposisi dalam pemerintah presidensialisme bagaikan “macam” ompong. Di satu sisi memiliki kekuatan fisik dan raungan cukup dahsyat yang mampu menggetarkan lawan. Tapi di sisi lain, tidak mempunyai daya gigit yang mampu melumpuhkan lawan.

Berbicara dalam konteks politik Indonesia, PDIP sebagai salah satu parpol besar dan partai oposisi hanya mempunyai kekuatan untuk mengkritik pemerintah. Tetapi PDIP tidak akan mampu menurunkan pemerintah berkuasa. Sehingga kritikan tersebut bagaikan peluru yang tidak mampu melukai lawan, bahkan tidak menutup kemungkinan peluru tersebut berbalik arah menghantam si empunya peluru.

Menurut Arbi Sanit seharusnya PDIP memperkuat dan melembagakan sistem oposisi, sehingga kritiknya tidak sia-sia. Selain itu PDIP harus membangun koalisi sesama partai oposisi supaya kekuatan tidak terpecah-belah. Tanpa niat untuk memperkuat oposisi, semua kritikan itu hanya sekedar lagak dan gaya bukan substansi demokrasi. Bahkan bisa jadi bentuk keresahan Megawati karena sekarang tumbuhnya stabilitas politik dan ekonomi lebih kokoh.

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal perlu diperhatikan PDIP sebagai partai oposisi. Pertama, seberapa efektif kritikan PDIP bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan PDIP sendiri. Sangat mubazir jika kritikan tersebut hanya sekedar wacana dan bentuk kontra terhadap pemerintah berkuasa. Bisa saja, kritik yang berlebihan malah dapat menjadi tidak produktif. Masyarakat lebih mengharapkan dukungan atau bantuan untuk memecahkan masalah, bukan berkata-kata tanpa memberikan solusi.

Sebenarnya tiga pilar PDIP (eksekutif, legislatif, dan anggota partai) mempunyai peluang untuk mengejawantahkan kritikan Megawati tersebut. Sebagaimisal PDIP memiliki jejaring dan dana untuk mensosialisasikan penggunaan tabung gas elpiji dengan tepat. Kesempatan ini bisa mendorong para anggota DPR/DPRD dari PDIP untuk berada di tengah rakyat. Contoh lain PDIP bisa juga membantu masyarakat lebih mandiri dalam perekonomian dengan mengembangkan asas ekonomi kerakyatan.

Kedua, PDIP berpeluang menjadi partai besar sebagai oposisi pemerintah. Sebagaimana kita ketahui PDIP mempunyai kemampuan menarik massa. Setidaknya telah diperlihatkan dengan keberhasilan PDIP meraih sekitar 67 persen kemenangan dari pemilukada yang dimulai sejak April 2009-Juni 2010, relatif jauh mengungguli partai-partai lainnya. Bila kritikan-kritikan PDIP hanya sekedar omong kosong atau unjuk kekuatan, bisa saja rakyat akan meninggalkan PDIP.

Ketiga, kritikan Megawati terhadap kebijakan pemerintahan SBY cenderung emosional. Berbagai kesempatan terbuka lebar bagi PDIP untuk memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang sedang dihadapi rakyat. Tetapi PDIP malah mempertontonkan rakyat dengan pelbagai kritikan cenderung terkesan emosional dan menganggu pemerintahan yang sedang bekerja.

Dalam konteks ini, PDIP justru tidak menawarkan harapan baru pro rakyat. Seyogyanya sikap dan kritik PDIP tidak hanya berguna bagi pemerintah, tapi juga untuk rakyat banyak. Bahkan dalam posisi ini menunjukkan bahwa PDIP semakin emosional dengan konsep oposisi yang makin tidak terarah. Selain itu, barangkali sikap tersebut menunjukkan bahwa PDIP sudah kehilangan cara untuk mengkritisi pemerintahan dengan laju perkembangan ekonomi dan politik yang makin membaik.

Keempat, Megawati tidak satu kata dalam perbuatan. Padahal dalam pelbagai kesempatan Megawati kerap menegaskan segala hal menyangkut Indonesia harus mengedepankan kebersamaan seperti Megawati kerap melontarkan bahwa kalau menyangkut I, Indonesia, itu menyangkut kebersamaan. Tetapi di sisi lain PDIP hanya menyoroti kesalahan tetapi tapi tidak membantu dan memberikan solutif terhadap pelbagai permasalahan bangsa.

Di samping itu, Megawati mengatakan kebersamaan, tapi disisi lain PDIP dan Megawati menolak bersama pemerintah berkuasa atau minimal mendukung pemerintah dalam menjalankan program membangun bangsa. Perlu dipertanyakan mengapa PDIP dan Megawati tidak pernah mengapresiasi keberhasilan pemerintah dan hanya menyoroti kelemahan-kelemahannya saja? padahal pelbagai kebijakan pemerintah perlu sinergitas untuk meluruskan kesalahan dan memperbaikinya.

Bangsa Indonesia, membutuhkan terobosan pemikiran, membutuh sinergitas antar semua elemen di tengah konsolidasi nasional dan demokrasi saat ini berlangsung. Seharusnya rakyat dibimbing untuk mendukung pemerintah bekerja, bukan malah berupaya menajamkan penolakan. Jangan sampai PDIP menjadi beban sejarah dalam era transisi demokrasi. Dimana keberadaan PDIP tidak terlalu memberikan dampak positif bagi rakyat, pemerintah maupun PDIP sendiri.

Di alam demokrasi, kritik merupakan hal lumrah dan sebuah bentuk dinamika dari partai oposisi pemerintah. Mereka mempunyai hak, walaupun motif kritikan tersebut mempunyai maksud dan kepentingan terselubung. Bahkan dapat dibahasakan bahwa kritik kepada pemerintah wajib hukumnya dari berbagai pihak. Pemerintah memerlukan kritik karena kritik bisa dijadikan sebagai cermin dan instrumen koreksi.

Dari kritik itu, pemerintah dapat mengetahui segala kekurangan dan kelebihannya.
Di sisi lain, kritikan itu harus disertai solusi yang dapat membantu kesulitan-kesulitan pemerintah dalam bekerja. Dalam hal ini, kalau krtikan Megawati dan PDIP hanya sekedar unjuk kekuataan dan wacana kosong belaka, itu bisa saja bentuk kekecewaan atas kekalahan politik PDIP pada pemilu dan kegagalan Megawati pada dua pilpres—2004 dan 2009—head to head dengan SBY.


Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

INCUMBENT

Oleh: Andriadi Achmad

Sepanjang tahun 2010 tercatat sekitar 246 daerah menyelenggarakan pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada), antaralain terdiri dari 7 (tujuh) provinsi dan 239 kabupaten/kota. Pemilukada merupakan implikasi turunan dari kebijakan penerapan desentralisasi atau otonomi daerah, secara yuridis sebagaimana tertuang dalam pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat daerah bersangkutan.

Demokrasi memberi hak sama pada setiap warga negara, khususnya dalam mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah. Para kepala daerah atau wakil kepala daerah sedang menjabat (incumbent) sejauh tidak menyalahi peraturan perundang-undangan berhak maju kembali dalam pemilukada. Sebagaimisal pada pemilukada 3 Juli 2010 lalu di provinsi Bengkulu diramaikan incumbent gubernur dan 5 incumbent bupati (Rejang Lebong, Lebong, Kepahiang, Muko-Muko, Seluma.

Secara realitas dari pemilukada Bengkulu tersebut, incumbent gubernur dan 4 incumbent bupati meraih kemenangan, kecuali incumbent di kabupaten Lebong. Bahkan di beberapa daerah para incumbent bisa memenangkan pertarungan dengan angka diatas 90 persen, seperti pasangan Joko Widodo – FX Hadi Rudyatmo di Kota Solo Jawa Tengah mendulang 90,09 persen suara; pasangan Herman Deru–Kholid Mawardi meraih 94,56 persen pada pemilukada Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Sumatera Selatan.

Tidak ada jaminan incumbent terpilih kembali dalam bursa pemilukada, seperti pada pemilukada 30 Juni 2010 lalu di Sumatera Barat, incumbent Gubernur Marlis Rahman dikalahkan kandidat penantang Irwan Prayitno. Begitu juga di beberapa kabupaten/kota incumbent bupati menuai kekalahan, seperti di kabupaten Pasaman Barat, kabupaten Bangka Selatan, kota Dumai, kabupaten Indragiri Hulu, dan seterusnya.

Rekam jejak dan kinerja incumbent ketika berkuasa sangat menentukan, bila selama menjabat kepala daerah baik berposisi sebagai Gubernur, Bupati ataupun Walikota selalu membangun kepercayaan dan kedekatan dengan rakyat, peduli pada rakyat dan mencurahkan segala kemampuan dan pikirannya demi kemajuan wilayah dan rakyat. Dalam bentuk real, menjalankan program-program bersentuhan langsung dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, seperti bidang ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Incumbent memiliki track record seperti ini sangat bepotensi dan dengan sangat mudah untuk terpilih kembali. Tetapi sebaliknya, incumbent yang tidak amanah dan tidak peka serta menjaga jarak terhadap rakyat secara mudah akan terdepak dan cenderung ditinggalkan rakyat.

Dalam hal ini, kehadiran incumbent setidaknya mempunyai beberapa keunggulan baik bersifat positif maupun negatif. Pertama, didukung tingkat popularitas dan elektabilitas lebih tinggi. Sudah sejawarnya jabatan sebagai gubernur, Bupati atau walikota menyebabkan incumbent unggul ketimbang calon lain, lantaran kerapkali tersosialisasi melalui media massa dan secara tidak langsung dapat berfungsi sebagai iklan gratis dalam menaikkan tingkat popularitas.

Kedua, incumbent memiliki modal informasi cukup mendalam tentang peta permasalahan di daerahnya, dukungan modal logistik, dan jaringan dengan berbagai elemen masyarakat baik di pusat maupun di daerah. Jika kelebihan tersebut dimanfaatkan seefektif mungkin dalam interval lima tahun, incumbent sudah dipastikan berpeluang besar menang dalam pemilukada ketimbang calon penantang.

Ketiga, incumbent lebih banyak diuntungkan dengan jabatannya. Secara politik, jabatan bagi incumbent adalah modal prestisius, karena dengan mudah para incumbent bisa memanfaatkan program-program pemerintah daerah seperti peningkatan dana pembangunan infrastruktur serta menyalurkan bantuan-bantuan sosial dan hibah pada masyarakat menjelang pemilukada.

Keempat, incumbent bisa melakukan intervensi terhadap penyelenggara pemilukada—Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Sebab incumbent memiliki kewenangan, khususnya dalam anggaran pemilukada. Apalagi bila unsur sekretariat KPUD berasal dari pegawai pemerintah daerah, sudah barang tentu incumbent cenderung mendapatkan keistimewaan ketimbang kadidat lain.

Incumbent dan Harapan Rakyat

Menurut para filsuf, bahwa kekuasaan itu ibarat dua sisi mata uang. Jika dijalankan dengan amanah, jujur, dan bertanggung jawab, akan bermanfaat bukan saja bagi penguasa atau pemimpin, tapi juga masyarakat luas. Sebaliknya, apabila kekuasaan itu hanya digunakan untuk kepentingan sempit, kerapkali terjadi adalah penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan yang diemban.

Bisa saja dengan memanfaatkan kekuasaan untuk mengumpulkan harta dan mengembangkan investasi haram. Akibatnya, kekuasaan itu menjadi bumerang bagi sang pemimpin. Sebagaimana realitas mewartakan bahwa banyak kepala daerah atau mantan kepala daerah terjerat kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, pada akhirnya mengantar mereka ke pengadilan dan bahkan ke jeruji besi (penjara).

Kemenangan para incumbent sangatlah wajar, begitu juga dengan kekalahan. Siapapun pilihan rakyat untuk pemimpinnya harus dihormati sebagai kehendak rakyat. Sebagaimana kita bisa cermati dewasa ini bahwa rakyat semakin cerdas membedakan mana pemimpin layak untuk dipilih dan sebaliknya. Hukum alam inilah semestinya menjadi catatan penting para kandidat yang maju ke pentas pemilukada.

Sejatinya waktu lima tahun adalah lebih dari cukup untuk mendapatkan simpati rakyat. Oleh karena itu, bila peluang tersebut benar-benar dimanfaatkan incumbent selama menjabat dengan merealisasikan kebijakan prorakyat, perbaikan atau peningkatan berbagai sektor kehidupan, baik sumber daya manusia, pendidikan, kesehatan, papan, maupun pelayanan publik serta rutin mengunjungi rakyat, dalam posisi ini peluang incumbent untuk meraih kemenangan terbuka lebar bila dibandingkan calon lain.

Incumbent yang berhasil memperoleh kembali kepercayaan rakyat, mestinya menghargai kepercayaan dan kesempatan tersebut. Incumbent memunyai tanggung jawab lebih tinggi dibandingkan pemimpin baru di suatu daerah, karena incumbent sudah memahami kelebihan dan kelemahan daerah yang dipimpinnya. Dalam artian, incumbent tidak perlu lagi belajar atau menyesuaikan diri, melainkan tinggal melanjutkan program-program lima tahun di masa kepemimpinan sebelumnya serta mewujudkan janji-janji kampanye yang telah disampaikan.

Pelajaran demokrasi, kekuasaan, dan kepemimpinan memberikan hikmah tersendiri di tengah-tengah transisi demokrasi saat ini tengah berlangsung. Secara khusus para incumbent yang berhasil meraih kemenangan dalam pemilukada, sudah semestinya harus lebih baik. Kepercayaan rakyat itu sangat mahal dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kinerja pemerintahan dalam rangka mewujudkan impian, cita-cita pembangunan dan memenuhi harapan rakyat daerah.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Menimbang Pilkada Langsung

Oleh: Andriadi Achmad


Sepanjang tahun 2010 tercatat sekitar 246 daerah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung, antaralain terdiri dari 7 (tujuh) provinsi dan 239 kabupaten/kota. Pilkada langsung merupakan implikasi turunan dari kebijakan penerapan desentralisasi atau otonomi daerah, secara yuridis sebagaimana tertuang dalam pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat daerah bersangkutan.
Kehadiran pilkada langsung sejak tahun 2005, pada awalnya memberi angin segar bagi masyarakat daerah untuk memilih kepala daerah sesuai selera atau kehendak rakyat daerah—sebelumnya dipilih DPRD terkesan bahwa kepala daerah pesanan pusat atau kehendak perwakilan parpol. Walaupun secara realitas kepala daerah pilihan rakyat belum tentu lebih baik ketimbang pilihan DPRD.
Dalam sebuah buku berjudul Pilkada dan Dinamika Politik Lokal (2009), Leo Agustino menjelaskan beberapa pelajaran berharga dapat dipetik dari demokratisasi nasional di tingkat lokal (pilkada langsung. Pertama, aktor-aktor politik di daerah, baik perorangan maupun kelompok, dapat menjadi pejuang demokrasi manakala orientasi perjuangannya berdasar kepentingan mayoritas warga.
Kedua, pilkada langsung merupakan salah satu cara yang dapat digunakan masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan akuntabel, responsif, dan tentunya demokratis di daerah. Ketiga, pilkada langsung merupakan cara relatif baik digunakan dalam memberikan pelajaran politik bagi warga masyarakat di daerah. Keempat, melalui pembelajaran demokratisasi yang terjadi di banyak negara dan di tingkat nasional, masyarakat daerah dapat memanfaatkan pilkada langsung sebagai alat deteksi arah demokrasi yang sedang diperjuangkan.
Dalam perspektif penulis, pelaksanaan pilkada langsung sejak tahun 2005 setidaknya telah membawa beberapa dampak negatif. Pertama, pemborosan dana baik anggaran pemerintah maupun dana dari kandidat calon kepala daerah. Pengeluaran dana dimulai dari pembelian perahu politik (partai politik) pengusung kandidat, dana logistik kandidat (poster, kaos, atribut, dana bantuan, dan sejenisnya), sampai praktik serangan fajar dalam bentuk pembagian uang dengan imbalan suara dan dana persiapan membeli suara di KPUD serta dana memenangkan sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi. Realitas ini jauh dari kesan pesta rakyat demokratis dan penuh warna money politics.
Suatu fenomena menarik mengapung ke permukaan, adalah sebanyak 17 kepala daerah tingkat satu (Gubernur) dari 33 provinsi dan sekitar 50 persen dari kepala daerah tingkat dua (Bupati/Walikota) hasil pilkada langsung dalam kurun waktu antara 2005-2010 terjerat kasus korupsi. Salah satu indikasi kuat penyebab korupsi kepala daerah adalah akibat dari pengeluaran ongkos pilkada langsung relatif sangat mahal.
Kemungkinan dalam perhelatan pilkada langsung calon kepala daerah didonasi para pemodal, dengan konsekuensi akan mendapat imbalan jika terpilih. Bisa saja imbalan tersebut dalam bentuk perizinan membuka ladang bisnis atau diberikan tender-tender proyek di daerah. kemudian kepala daerah terpilih dijadikan boneka oleh para pemodal tersebut, sehingga tercipta shadow government (pemerintah bayangan) dan kepala daerah terpilih dijadikan tumbal kebijakan, pada akhirnya terjerat kasus korupsi.
Kedua, rentan terjadi konflik horizontal antar pendukung kandidat kepala daerah. Secara realitas, perhelatan pilkada langsung rentan menyulut konflik antar pendukung kepala daerah. Beberapa kasus konflik terjadi seperti pada pilkada Maluku Utara; Sumatera Utara; Sumatera Selatan; dan seterusnya. Konflik tersebut sudah barang tentu menimbulkan kerugian jiwa maupun fisik serta mengganggu ketertiban umum.
Penghapusan Pilkada Langsung Gubernur
Beberapa waktu lalu Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi melemparkan wacana penghapusan pilkada langsung Gubernur. Penulis menangkap gagasan tersebut muncul disebabkan beberapa faktor. Pertama, upaya penghematan dana. Jelas penghapusan pilkada langsung gubernur akan menghemat dana relatif besar.
Kedua, pertimbangan posisi Gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Sebagai pejabat mewakili pemerintah pusat, sejatinya gubernur tidak dipilih dalam pilkada langsung, namun diangkat oleh presiden. Sementara pilkada langsung Bupati/Walikota tetap dipertahankan, mengingat ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah sesungguhnya berada di kabupaten/kota.
Ketiga, upaya pemerintah untuk menguatkan posisi dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Dalam penguatan peran ini, gubernur akan diberikan kewenangan sebagai controller yang mengawasi dan membina Bupati atau walikota dalam penyelenggaraan otonomi daerah sekaligus pengaturan anggaran oleh gubernur terhadap para bupati dan walikota. Kalau tidak ada kontrol, seperti terjadi saat ini dimana para bupati dan walikota seperti raja-raja kecil ada di daerah.
Keempat, Pilkada langsung gubernur mengakibatkan hirarki pemerintahan tidak jelas karena sistem pemerintahan Indonesia terdiri atas tiga lapisan yakni pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Tiga lapisan pemerintahan itu, menyulitkan pelaksanaan berbagai program pemerintah pusat karena setiap kepala daerah merasa dipilih secara langsung oleh rakyat setempat. Efektifnya hanya ada dua lapisan hirarki pemerintahan yaitu pusat dan daerah.
Terlepas dari kontroversi rezim Orde Baru (ORBA), yaitu sentralisasi, non-demokratis dan otoritarianisme Soeharto. Tidak bisa dinapikkan bahwa struktur pemerintahan daerah masa ORBA cukup efektif, efisien, cenderung tidak menimbulkan gejolak. Masa ORBA, kepala daerah tingkat satu dipilih berasal dari militer minimal berpangkat Kolonel/Brigadir Jenderal atau berasal dari birokrat dengan golongan minimal 3B. Sehingga para pemimpin yang diangkat memiliki pengalaman dan telah teruji dalam rentang waktu relatif panjang.
Euporia politik mewabah Indonesia pasca reformasi cenderung menggiring terompet perubahan menjadi tak terkendali. Pelbagai terobosan tanpa konsep jelas diterapkan dalam rangka mencari format utuh demokrasi, sebagai salah satu contoh adalah penyelenggaraan pilkada langsung sejak tahun 2005.
Oleh karena itu, seiring perjalanan transisi demokrasi terus menggelinding bagaikan snow ball (bola salju) menuju titik konsolidasi demokrasi di negeri kita. Tak ada salahnya, bangsa kita belajar dari format dan struktur pemerintahan daerah di masa Orde Baru, tentunya tanpa mengabaikan semangat penerapan desentralisasi dan otonomi daerah tengah berlangsung.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Jumat, 18 Juni 2010

Dinamika Gerakan Mahasiswa Indonesia

Judul : Gerakan Mahasiswa (Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional)
Penulis : Dody Rudianto
Penerbit: Golden Terayon Press
Cetakan : Pertama, Maret 2010
Tebal : xii + 224 Halaman
Harga : Rp. 38.000

Gerakan Mahasiswa selalu hadir dalam setiap momen dan perubahan penting suatu bangsa. Dalam konteks ke-Indonesian, sebut saja sejak gerakan kebangkitan nasional Boedi Oetomo (1908) di pelopori mahasiswa STOVIA; mencetus Sumpah Pemuda (1928) dipelopori mahasiswa seperti Soekarno-Hatta-Sjahrir dan lain-lain; mendesak dan menculik (peristiwa rengas dengklok) Soekarno-Hatta agar mendeklarasi kemerdekaan RI dipimpin mahasiswa seperti Chairul Saleh-Sjarif Thayeb dan lain-lain (1945); menumbangkan Orde Lama (1966) di gerakkan oleh Akbar Tandjung-Cosmas Batubara-Marsilam Simanjuntak dan lain-lain—di kenal sebagai angkatan 66; peristiwa MALARI (1974) di bawah kendali Hariman Siregar; penolakan NKK/BKK dan pencalonan kembali Soeharto (1978); serta menggulingkan rezim Orde Baru (1998).

Melalui buku Gerakan Mahasiswa: Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional karya Dody Rudianto ini, membuka kembali memori lembaran dinamika perjuangan mahasiswa—sebagai garda terdepan pemuda—dalam proses perubahan zaman yang dialami oleh tiap generasi dengan segala aspek dan problematik tantangan berbeda-beda serta melihat peran kesejarahan gerakan mahasiswa dalam perspektif perubahan politik nasional sejak tahun 1908-1998.

Secara historis, menurut Dody ada dua istilah kerapkali muncul dalam gerakan mahasiswa yaitu gerakan moral (moral force) dan politik praktis. Kedua istilah dimunculkan antara dua pihak berseberangan, yaitu gerakan mahasiswa dan pemerintah berkuasa. Sudah lazim bahwa untuk menyudutkan dan memberangus gerakan mahasiswa, pemerintah kerapkali mengklaim gerakan mahasiswa telah melakukan politik praktis secara otomatis telah melanggar peraturan.

Sedangkan gerakan mahasiswa tetap bersikukuh bahwa gerakan mereka adalah gerakan moral (moral force)—gerakan murni belum terpolusi oleh pengaruh politik berorientasi kekuasan, dan masih tetap mempertahankan konsistensi perjuangan dilandasi nilai-nilai penegakan moral. Walaupun tak dapat dibantah bahwa terdapat juga oknum-oknum gerakan mahasiswa terjebak pada lingkaran politik praktis.

Selain itu, dalam buku ini dijelaskan 2 alasan utama penyebab kobaran api gerakan mahasiswa kian menyala dalam memperjuangkan perubahan. Pertama, terjadi penyumbatan dalam penyelenggaraan kenegaraan yang tidak berimbang. Kedua, fungsi pemerintahan yang bukan lagi sebagai pelayan rakyat tetapi menjelma menjadi penindas rakyat, bahkan belakang ini menjadi pelayan partai politik. (hal. 191).

Gerakan mahasiswa Indonesia senantiasa hadir dalam lintasan perjalanan kehidupan bernegara, sebagai sikap reaktif terhadap keadaan kehidupan kenegaraan yang di anggap tengah berada dalam posisi ketimpangan. Kobaran api semangat gerakan mahasiswa tidak akan pernah padam, bahkan semakin membesar selama nilai-nilai keadilan dan kebenaran masih tetap di injak-injak penguasa.

Peresensi adalah Andriadi Achmad
Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia