Selasa, 06 April 2010

PDIP Kehilangan Ruh Demokratis

PDIP Kehilangan Ruh Demokratis
Oleh: Andriadi Achmad


Kongres III PDIP tengah berlangsung di Sanur-Bali, 6-9 April 2010, adalah ajang bergengsi lima tahunan dalam pemilihan Ketua Umum PDIP periode 2010-2015. Sosok Megawati Soekarnoputri masih menjadi primadona tak tertandingi dalam bursa kepemimpinan PDIP lima tahun ke depan. Walaupun, beberapa nama mengapung ke permukaan seperti Prananda Prabowo dan Puan Maharani.
PDIP dikenal sebagai partai ideologis pengusung demokrasi, namun demokratisasi itu sendiri tidak tumbuh di tubuh PDIP. Fenomena ini terlihat dalam regenerasi kepemimpinan PDIP, lebih mengandalkan kehadiran dinasti Soekarno-Megawati. Sehingga, menutup kemungkinan ruang gerak kader-kader lain untuk memimpin PDIP. Kondisi ini merupakan cerminan tidak demokratis dan akan membahayakan posisi PDIP ke depan pasca Megawati.
Dalam konteks perpolitikan Indonesia, konsistensi PDIP dalam memperjuangkan kepentingan rakyat dengan mendeklarasikan sebagai partai politik “wong cilik” dan mengambil sikap oposisi terhadap pemerintah merupakan nilai lebih. Sebagai salah satu contoh adalah kegigihan kader-kader PDIP di DPR RI seperti Maruarar Sirait, Gayus Lumbun, dan Ganjar Pranowo—panitia khusus (pansus) angket Century—dalam membongkar kasus Century yang diindikasi melibatkan pemerintah.
Kehilangan Ruh Demokratis
Bara api di tubuh PDIP bagaikan snow ball (bola salju) menggelinding antara Taufik Kiemas-Megawati. Belakangan kerapkali terdengar meruncing perbedaan pandangan antara Megawati (Ketua Umum PDIP) dan Taufik Kiemas (Ketua Deperpu PDIP) dalam menentukan posisi partai, antara berkoalisi atau oposisi terhadap pemerintah. Begitu juga persaingan antara kakak beradik Prananda Prabowo dan Puan Maharani dalam memperebutkan posisi sebagai penerus Megawati.
Fenomena di atas minimal sebagai gambaran bahwa PDIP lebih mengedepankan sistem kedinastian. Pertanyaan mendasar adalah mengapa fungsionaris-fungsionaris PDIP seolah sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap kebijakan internal PDIP. Apakah dikarenakan faktor politis, bahwa kehilangan dinasti Soekarno sama dengan kehilangan pendukung dan suara PDIP. Bila alasan ini menyebabkan sosok Megawati tak boleh diganti, sungguh menunjukkan bahwa PDIP telah kehilangan ruh demokratis.
Menurut hemat penulis, ada beberapa faktor penyebab PDIP kehilangan ruh demokratis. Pertama, ketergantungan terhadap sosok Megawati. Keberhasilan PDIP dalam pemilu 1999 dengan meraup suara terbesar sekitar 33 persen, tak lepas dari sosok Megawati terkesan ke publik di masa pada Orde Baru terzholimi. Namum keberhasilan tersebut tidak mampu mengantarkan Megawati menuju tahta nomor satu, walaupun pada tahun 2001 menggantikan Abdurrahman Wahid di puncak kekuasaan.
Kepemimpinan Megawati dianggap gagal dan dihukum rakyat dengan kemerosotan tajam suara PDIP pada pemilu 2004 (18,6 persen) dan kekalahan Megawati head to head dengan SBY dalam putaran kedua pilpres September 2004. Begitu juga pada pemilu 2009, PDIP tidak bisa bisa mengangkat perolehan suara (12,63 persen) dan Megawati kembali menelan pil pahit kekalahan pada putaran pertama pilpres Juli 2009.
Kekalahan beruntun Megawati dan PDIP, semestinya menjadi pelajaran berharga dan sinyal bahwa kehadiran Megawati sebagai magnet partai sudah mulai meredup. PDIP harus belajar untuk berani tanpa kehadiran Megawati, disinilah ujian terbesar bagi PDIP. Bila PDIP bisa keluar dari ujian tersebut, kemungkinan terjadinya perpecahan di tubuh PDIP pasca Megawati ke depan dapat dihindari.
Sebenarnya ketergantungan PDIP terhadap Megawati adalah lonceng kematian secara perlahan-lahan bagi masa depan PDIP. Telah terbukti beberapa partai politik era reformasi mati suri akibat kehilangan sosok karismatik partai. Sebut saja, merosot tajam suara PKB pada pemilu 2009 tanpa kehadiran Gus Dur, begitu pula PBB terpental dari senayan dan tidak mampu menembus ET 2 persen dikarenakan sosok Yusri Ihza Mahendra kehilangan pamor, dan lain-lain. Bila PDIP tidak menyikapi secara serius ketergantungan terhadap Megawati, tak menutup kemungkinan PDIP akan ditinggalkan para pendukung dan simpatisannya.
Kedua, kegagalan dalam proses regenerasi di tubuh PDIP. Terdengar kabar bahwa hampir seluruh pengurus tingkat DPP, DPD, dan DPC dalam kongres III PDIP 6-9 April 2010 ini, kembali mendukung Megawati untuk memimpin PDIP lima tahun ke depan. Adapun alasan mengalir deras dukungan terhadap Megawati, adalah tidak ada sosok yang bisa menggantikan posisi Megawati.
Dalam hal ini, penulis mencermati sebagai bentuk kegagalan proses kaderisasi dan regenerasi di tubuh PDIP. Padahal, beberapa fungsionaris PDIP sebenarnya layak untuk menggantikan posisi Megawati sebagai Ketua Umum. Megawati pun sejatinya legowo dan memberikan ruang regenerasi demi keberlangsungan PDIP suatu saat tanpa kehadirannya. Megawati harus berjiwa besar untuk menumbuhkan nilai demokratis dengan mengikis sistem dinasti di tubuh PDIP.
Ketiga, posisi PDIP tidak jelas antara oposisi atau koalisi. Dalam sistem presidensial tidak ada oposisi, namun pada kenyataannya kehadiran oposisi sangat penting baik dalam sistem perlementer ataupun presidensial. Keberadaan PDIP selama ini mengklaim sebagai partai oposisi, walaupun belakangan timbul perselisihan antara Taufik Kiemas dan Megawati dalam menentukan posisi PDIP.
Kemenangan Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR RI 2009-2014, merupakan hadiah dari partai koalisi pemerintah. Pasalnya, semua mitra koalisi Partai Demokrat seperti PKB, PPP, PAN, Golkar kecuali PKS mendukung Taufik Kiemas. Kado berharga inilah seolah meluluhkan hati Taufik Kiemas untuk menggagas koalisi dengan pemerintah. Sedangkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP tetap bersikukuh sebagai partai oposisi.
Ketidakjelasan posisi PDIP tergambar dari perselisihan pendapat antara fungsionaris partai, hal ini bisa menjadi bumerang bagi PDIP. Kongres III PDIP saat ini tengah berlangsung adalah ajang penentuan dan seyogyanya dapat menentukan posisi, arah dan orientasi PDIP lima tahun ke depan. Walaupun sinyal mengapung ke permukaan bahwa PDIP tidak menjadi partai oposisi tapi tetap kritis terhadap pemerintah.
Dari tiga catatan di atas menunjukkan bahwa posisi PDIP sangat dilematis dan tengah dilanda ujian berat, yaitu kehilangan ruh demokratis. Untuk itu kongres III PDIP ini ajang pembuktian apakah PDIP partai demokratis atau tetap mempertahankan sistem dinasti? Bila Megawati Terpilih kembali sebagai Ketua Umum PDIP periode 2010-2015, semakin menguatkan bukti bahwa PDIP telah kehilangan ruh demokratis.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar