Senin, 26 Oktober 2009

Rapor Merah DPR RI 2004-2009

Rapor Merah DPR RI 2004-2009
Oleh: R. Andriadi Achmad


Tanpa terasa para wakil rakyat kita telah berganti sejak dilantiknya anggota DPR RI 2009-2014, 1 Oktober 2009 lalu. Kenduri demokrasi 8 April 2009 telah mengantarkan 560 anggota DPR terpilih mewakili 33 provinsi se-Indonesia menuju kursi empuk di senayan.
Adapun dari 9 partai politik yang lolos parliamantary threshold 2,5 persen—aturan untuk mengirim wakil di parlemen—dengan komposisi, Demokrat 150 kursi; Golkar 107 kursi; PDI-P 95 kursi; PKS 57 kursi; PAN 43 kursi; PPP 37 kursi; PKB 27 kursi; Gerindra 26 kursi; dan Hanura 18 kursi.Perampingan jumlah fraksi di DPR melalui PT 2,5 persen sejatinya menjadi upaya selektifitas dalam menentukan parpol yang layak untuk berada di senayan.
Wajah para wakil rakyat terpilih merupakan notabene representatif dan harapan dari jutaan rakyat Indonesia. Secara jelas John Loke dalam buku Two Treatises of Government (1965), mendefenisikan bahwa kekuasaan legislatif adalah manifestasi pendelegasian kekuasaan rakyat pada negara, kekuasaan ini dijalankan oleh parlemen yang merupakan pengejawantahan atau bentuk representasi semua kelas-kelas sosial masyarakat baik kaum bangsawan, orang-orang kaya maupun rakyat jelata.
Adalah sebuah keniscayaan tugas utama wakil rakyat mengemban amanah sebagai penyambung lidah rakyat serta berada di garda terdepan dalam membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Bila di sinergiskan dengan tugas utama lembaga perwakilan yaitu membuat undang-undang. Semestinya wakil rakyat harus senantiasa membuat UU yang selalu berpihak terhadap rakyat, bukan berpihak pada uang dan kepentingan individu.
Dalam konteks ke-Indonesian, citra negatif dan nada pesimis terhadap kinerja wakil rakyat di negeri ini, adalah sebuah realitas menggelinding bagaikan snow ball (bola salju) di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Apatisme dan mosi tidak percaya ini, timbul akibat kerapkali sebuah harapan tak seindah kenyataan. Dalam artian, kemauan dan tuntutan rakyat sering kali terabaikan.
Wakil rakyat sejatinya memperjuangkan kepentingan rakyat, tapi realitas sebaliknya kerapkali mengkhianati rakyat—mementingkan individu, keluarga dan kelompok (parpol). Padahal kehadiran para wakil rakyat, meminjam teori Mandat Bintan Saragih (1988), dimana individu duduk di parlemen karena mendapat mandat dari rakyat. Sebagai mandataris rakyat, DPR harus senantiasa membela dan mengutamakan kepentingan rakyat.
Rapor Merah
Dalam pepatah tradisional kuno, gajah mati meninggalkan gading-harimau mati meninggalkan belang. DPR RI 2004-2009 mati (baca: berakhir) meninggalkan perilaku negatif dan setumpuk pekerjaan yang belum terselesaikan, hal ini sebut saja rapor merah. Menurut Hemat penulis rapor merah DPR RI periode 2004-2009. Pertama, kerapkali tidak hadir dalam sidang-sidang pengambilan keputusan.
Sebuah realitas mengapung ke permukaan dalam sebuah pemberitaan Koran Jakarta (Selasa, 15 September 2009) dengan judul “Sindrom yang Tak Pernah Sembuh”. Menarik benang merah intisari dari pemberitaan tersebut menggambarkan betapa minimnya kehadiran para anggota DPR dalam setiap sidang paripurna, realitas ini bukan rahasia umum.
Kursi kosong dalam gedung paripurna DPR menjadi bukti bisu bahwa sebahagian para wakil rakyat kerap lalai dalam menjalankan kewajiban. Padahal kehadiran dalam sidang-sidang, adalah sebuah keharusan dan kewajiban. Hal ini terkait dengan tingkat urgensitas dari setiap pembahasan-pembahasan, baik yang berkaitan dengan perancangan dan penetapan RUU ataupun rapat dengar pendapat atas progran-program kerja pemerintah. Ketidakhadiran dalam sidang dan rapat adalah cerminan pengkhianatan terhadap rakyat.
Kedua, mewariskan setumpuk RUU belum selesai di akhir masa jabatan. Dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2004-2009, DPR menargetkan pembuatan 284 UU dalam kurun waktu lima tahun. Tercatat di akhir masa tugas, hanya 74 RUU atau 26 persen disahkan menjadi UU. DPR juga terlihat inkonsistensi dalam merampungkan suatu UU, setidaknya terbukti dari 174 RUU tidak masuk prolegnas, tetapi masuk ke dalam rapat paripurna—dari 174 RUU nonprolegnas, 111 disahkan menjadi UU. 185 buah total RUU prolegnas dan nonprolegnas telah menjadi UU, sedangkan 273 buah RUU belum selesai digarap.
Ketiga, praktik korupsi melibatkan wakil rakyat. Dalam laporan Transparency International Indonesia (TII) 2009, DPR adalah institusi paling korup di Indonesia. Secara umum, skandal korupsi di DPR dalam bentuk praktik suap, pemberian izin alih fungsi hutan yang tidak semestinya, pemberian gratifikasi “uang pelicin” untuk memuluskan proses legislasi di parlemen.
Beberapa kasus mengapung ke permukaan memberikan noda hitam tersendiri bagi wakil rakyat secara keseluruhan, sebut saja kasus skandal suap melibatkan Al Amin Nasution (F-PPP) dan Sarjan Taher (F-Demokrat) terkait alih fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan-Kepulauan Riau; kasus suap pengadaan kapal cepat di Departemen Perhubungan yang melibatkan Bulyan Royan (F-BR); atau kasus dana stimulus proyek pembangunan Indonesia Timur yang melibatkan Abdul Hadi Djamal (F-PAN); dan seterusnya.
Dalam hal ini, penulis berani berargumen bahwa rapor merah DPR hanya bisa di hitamkan dengan merealisasikan gagasan high politics (politik kelas tinggi) Amien Rias. Pertama, menganggap setiap jabatan politik merupakan amanah dari masyarakat, yang harus senantiasa dipelihara sebaik-baiknya. Kedua, setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban (mas’uliyah, accountability) di dunia maupun pada mahkamah hakiki (ukhrowi).
Konsep sederhana ini, lebih menuntun ke arah alam kesadaran akan sebuah kewajiban. Bila diaplikasikan dalam tataran realitas akan berdampak sangat besar. Rapor merah DPR RI 2004-2009, bisa menjadi pelajaran berharga bagi anggota DPR RI 2009-2014 terpilih agar memulihkan nama baik lembaga terhormat DPR dengan menggunakan wewenang sebaik-baiknya. Jangan sampai rapor merah DPR periode sebelumnya masih dipertahankan dan terus dipertahankan. Selamat bekerja!

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Politik UI--
Direktur Eksekuitif PDIYoG (Political Development of Indonesian’n the Young Generation)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar